Selasa, 15 Mei 2012

Moratorium CPNS dan Reformasi Birokrasi Model DJP


Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, serta Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi resmi menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai penghentian sementara atau moratorium penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang  dilaksanakan di hadapan Wakil Presiden Boediono di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu 24 Agustus 2011. Juru Bicara Wakil Presiden Yopie Hidayat  menyebutkan bahwa kebijakan moratorium CPNS ditetapkan sejak 1 September 2011 hingga 12 Desember 2012.

Sebagai catatan per 13 Mei 2011, jumlah PNS di Indonesia tercatat sebanyak 4.708.330 orang, atau memiliki persentase 1,98 persen dibanding jumlah penduduk sekitar 237 juta jiwa lebih. Menurut lokasi, jumlah PNS pusat sekitar 916.493 orang (19,5 persen), sementara PNS daerah mencapai 3.791.837 orang (80,5 persen). Sedangkan PNS yang pensiun pada 2011 ini, menurut Menteri Pemberdayaagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan, sebesar 107 ribu dan pada 2012 sebesar 114 ribu PNS yang akan pensiun. Meskipun persentase jumlah PNS terhadap jumlah penduduk masih sekitar 1,98 persen atau di level yang moderat, tetapi dari postur birokrasi PNS masih bermasalah karena komposisi dan distribusi pegawai yang tidak proporsional dan penempatannya pun masih banyak sesuai kompetensi.
Masalah lainnya yaitu belanja pegawai melebihi 50 persen dari total APBD. Pemerintah pernah melansir data bahwa belanja pegawai di 294 kabupaten/kota lebih dari 50 persen APBD. Di 116 kabupaten/kota malah mencapai lebih dari 60 persen. Bahkan, ada daerah yang mengalokasikan belanja pegawai lebih dari 70 persen dari APBD. Biaya pegawai yang membengkak akan mengurangi alokasi belanja modal. Padahal belanja modal tersebut dibutuhkan untuk pembenahan dan pembangunan sarana infrastruktur dasar di daerah
Menurut Pengamat Ekonomi Dradjad Wibowo, sumber pemborosan utama anggaran pegawai dalam APBN adalah justru pegawai-pegawai lama. Ada dua jenis pemborosan oleh para PNS lama ini yaitu pemborosan langsung dalam bentuk gaji dan tunjangan yang jumlahnya  signifikan—lebih dari 50% dari total alokasi APBD. Kedua, pemborosan tak langsung berupa biaya perjalanan dinas yang direkayasa, tender proyek yang diatur di belakang layar, dan lain-lain.Selain itu , pegawai-pegawai lama lebih lihai juga bermain APBN. Sehingga moratorium atau penghentian sementara perekrutan PNS baru mulai 1 September 2011 sampai Desember 2012 tidak efektif karena hanya akan menghentikan rekrutmen untuk para pegawai baru.

Langkah pasca Moratorium
Di masa jeda ini, ada sejumlah PR besar dibidang Kepegawaian yang harus diselesaikan oleh Pemerintah, antara lain menghitung data kepegawaian yang valid. Artinya menghitung berapa kebutuhan pegawai dari masing-masing  Kementerian/Lembaga dan Instansi Daerah seperti dari Gubernur, Bupati/Walikota. Data kepegawaian di seluruh pemerintah daerah sangat penting agar diketahui persis daerah mana yang kelebihan dan daerah mana yang masih membutuhkan pegawai.
Saat moratorium, Pemerintah Pusat juga harus meningkatkan kompetensi dan kapasitas para pegawai negara sipil agar memenuhi kualitas dan kualifikasi standar kerja yang diperlukan antara lain dengan memberikan pelatihan kepada PNS yang sudah ada di daerah. Kualifikasi yang masih jarang dan sangat diperlukan seperti tenaga khusus di bidang hukum lingkungan hidup atau bertugas menangani pengurusan izin amdal.
Ketiga, memperbaiki postur  birokrasi PNS. Saat ini yang terjadi adalah ketimpangan jumlah pegawai antarinstansi/daerah dan juga ketimpangan formasi pegawai. Pemerintah harus mempertimbangkan melakukan mutasi di lingkungan Kementerian Lembaga dan perangkat daerah yang memiliki jumlah pegawai berlebih atau yang masih belum mencukupi. Apabila diperlukan harus dilakukan mutasi pegawai dari daerah yang kelebihan ke daerah yang masih kekurangan. Untuk menghemat anggaran, mutasi dapat  dilakukan terlebih dulu antarkabupaten di dalam satu provinsi, baru setelah itu antarprovinsi. Hal yang sama berlaku pula apabila pegawai di pusat terlalu banyak sementara  di daerah kurang dapat  dilakukan realokasi dari pusat ke daerah atau dari satu direktorat ke direktorat yang lain.  Juga mengurangi formasi untuk tata usaha atau administrasi dan merekrut posisi teknis dibidang kesehatan, pendidikan atau pertanian seperti guru, penyuluh pertanian, dokter atau perawat.
Keempat, yaitu  wacana pensiun dini. Program ini rencananya akan dipelopori oleh Kementerian Keuangan dengan menargetkan 1.000 pegawai yang berpotensi kena pensiun dini.  Program ini harus didesain dengan tepat jangan sampai menimbulkan moral hazard di mana PNS yang produktif malah terdorong pensiun dini. Atau sebaliknya, yang pensiun dini dianggap tidak mampu atau kalah lobi. Jika pemerintah salah mendesain pensiun dini ini maka produktivitas PNS di kementerian/lembaga tidak akan membaik dan sebaliknya apabila program ini berhasil maka akan menekan anggaran belanja pegawai.
Kelima, mengimplementasikan Teknologi Informasi (TI) dilingkungan birokrasi. Padahal penerapan TI efektif untuk menurunkan jumlah personel yang diperlukan disebuah instansi. Hal ini telah berhasil diterapkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, sebuah instansi vertikal dibawah Ditjen Perbendaharaan  Kementerian Keuangan.
Keenam, menuntaskan permasalahan pengangkatan tenaga honorer. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak tenaga honorer yang yang telah diangkat berdasarkan PP 48 tahun 2005, basic pekerjaannya kebanyakan berasal dari tenaga honorer administrasi, petugas, keamanan, petugas kebersihan, supir, dan sebagian besar diangkat berdasarkan kedekatan dengan pejabat setempat merupakan hasil nepotisme. Untuk para honorer ini harus diseleksi berdasarkan kualitas serta diutamakan bagi yang bergerak dalam bidang pelayanan publik seperti tenaga kesehatan dan pendidikan.
Ketujuh, apabila kebijakan ini berhasil secara tidak langsung akan meningkatkan alokasi belanja modal di APBD. Peningkatan belanja ini untuk pembenahan dan pembangunan sarana infrastruktur dasar di daerah. Untuk itu, perlu dilakukan revisi UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang mewajibkan  agar Pemda mengalokasikan belanja modal mencapai 20 persen APBD atau belanja pegawai tidak melebihi 50 persen.
Dan yang terakhir,, menuntaskan kesenjangan tunjangan daerah antar daerah kaya dengan daerah miskin. Caranya yaitu dengan  mengatur besaran tunjangan pejabat daerah, yang timpang antara satu daerah dengan daerah lain. Sebagai contoh, di DKI Jakarta, tunjangan sekda bisa mencapai Rp50 juta, di daerah lain tidak lebih Rp5 juta. Jika masalah ini ditertibkan, sudah lumayan banyak menekan belanja pegawai. Semua problem ini diharapkan dapat dituntaskan sebelum berakhirnya masa moratorium yakni 31 Desember 2012.
Sebenarnya kebijakan moratorium ini merupakan satu rangkaian dari Reformasi Birokrasi yang dicanangkan oleh Presiden SBY dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2011, dengan tujuan agar Kementerian Lembaga termasuk pemerintah daerah dapat melakukan rightsizing atau restrukturisasi organisasi dalam rangka meningkatkan produktivitas serta penyesuaian terhadap kualitas kerja di lingkungan instansi masing-masing. Menurut data Menpan ada tiga lembaga pemerintah yang menjadi pilot project dari reformasi birokrasi yaitu Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung. Salah satu Direktorat dibawah Kementerian Keuangan yang telah dan sedang menerapkan Reformasi Birokrasi adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP).



Reformasi Birokrasi Model DJP
            Untuk melihat contoh Reformasi Birokrasi , Pemerintah Daerah tidak perlu jauh-jauh studi banding ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri. Pemda cukup datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang telah menerapkan Modernisasi Administrasi Perpajakan. Di kantor pajak tidak hanya success story yang ditemui namun juga kisah kegagalan juga ditemui dalam perjalanan Reformasi Birokrasi. Berikut ini akan penulis paparkan sekelumit perjalanan panjang reformasi Birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Tak banyak yang mengetahui bahwa Reformasi Birokrasi DJP Jilid I atau yang lebih dikenal dengan Modernisasi Administrasi Perpajakan telah dimulai pada era Menkeu Boediono sejak tahun 2002. Modernisasi Administrasi Perpajakan dilakukan dengan beberapa tahapan secara simultan. Pertama, restrukturisasi organisasi berdasarkan fungsi dan penerapan prinsip segmentasi Wajib Pajak (WP) melalui penyatuan berbagai jenis kantor pajak (KPP,KPPBB dan Karikpa) menjadi KPP WP Besar,KPP Madya dan KPP Pratama untuk melayani seluruh jenis pelayanan (one stop service) untuk seluruh jenis pajak (PPh, PPN dan PBB). Kedua, penyempurnaan proses bisnis melalui optimalisasi penggunaan teknologi informasi melalui penulisan SOP, penerapan e-sistem (e-filing,e-SPT,e-payment, dan e-registration), penyederhanaan sistem pelaporan serta penerapan konsep Account Representative.  Ketiga, penyempurnaan sistem manajemen SDM berbasis kompetensi dan kinerja, melalui pemetaan kompetensi, untuk seluruh pegawai, evaluasi jabatan sekaligus menetapkan job grade, penilaian secara lebih objektif dan konsisten sekaligus penetapan standar kompetensi jabatan. Keempat, pelaksanaan good governance, melalui penerapan kode etik pegawai secara tegas pada semua lini organisasi. Terakhir adalah mereformasi kebijakan DJP, dengan mengamandemen Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU PPh dan UU PPN dan PPnBM pada tahun 2007-2009.
            Kasus Gayus Tambunan (GT) medio Maret 2010 memberikan bukti bahwa Reformasi Birokrasi tidak semudah membalikkan telapak tangan dan tidak terjadi dalam semalam saja layaknya legenda Bandung Bondowoso.  Kasus GT juga membuktikan bahwa Reformasi Birokrasi bukan hanya soal renumerasi semata sebagaimana anggapan masyarakat selama ini.
Untuk memenuhi harapan masyarakat yang begitu besar dan dilandasi beban target penerimaan yang semakin besar, DJP pun terus berbenah diri. Komitmen  perbaikan ini diwujudkan dalam bentuk Reformasi Jilid II. Reformasi Jilid II menitikberatkan pada dua hal yatiu pengembangan Manajemen SDM dan pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Salah satu programnya adalah PINTAR atau  Project for Indonesian Tax Reform. PINTAR merupakan program untuk mengadopsi dan menerapkan international best practice  dalam aspek tax service, law enforcement, struktur organisasi, proses bisnis dan manajemen SDM  sebagaimana yang telah diterapkan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang. Sasaran akhir Reformasi Jilid II adalah meningkatnya kepatuhan sukarela WP  dan meningkatkan tingkat kepercayaan WP dengan makin transparan dan akuntabelnya administrasi perpajakan yang dapat memberikan rasa kenyamanan sekaligus keadilan.
            Upaya perbaikan ini tentu saja memerlukan dukungan dan pengawasan secara aktif dari masyarakat, walaupun DJP telah mendapat pengawasan langsung dari Komisi Pengawas Perpajakan (KPP). Harapan kita, komitmen DJP untuk berbenah ini diikuti dengan Reformasi Birokrasi disemua lini pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sehingga tekad Pemerintah SBY untuk menegakkan good governance dapat terwujud.

*) Adalah Pemerhati masalah Pemerintahan
* Tulisan ini telah Telah dipublikasikan pada Rubrik Opini Harian Media Kalimantan Hari      Kamis, Tanggal 22 September 2011
*) Tulisan merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi Penulis bekerja
*) Ingin ngobrol dengan saya? Follow saya di twitter: @yudhimochamad

0 komentar:

Posting Komentar