Menteri Dalam Negeri, Menteri
Keuangan, serta Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
resmi menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai penghentian
sementara atau moratorium penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS)
yang dilaksanakan di hadapan Wakil Presiden Boediono di Kantor Wapres,
Jakarta, Rabu 24 Agustus 2011. Juru Bicara Wakil Presiden Yopie
Hidayat menyebutkan bahwa kebijakan moratorium
CPNS ditetapkan sejak 1 September 2011 hingga 12 Desember 2012.
Sebagai catatan per 13 Mei 2011,
jumlah PNS di Indonesia tercatat sebanyak 4.708.330 orang, atau memiliki
persentase 1,98 persen dibanding jumlah penduduk sekitar 237 juta jiwa lebih.
Menurut lokasi, jumlah PNS pusat sekitar 916.493 orang (19,5 persen), sementara
PNS daerah mencapai 3.791.837 orang (80,5 persen). Sedangkan PNS
yang pensiun pada 2011 ini, menurut Menteri Pemberdayaagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan, sebesar 107 ribu dan pada 2012 sebesar
114 ribu PNS yang akan pensiun. Meskipun persentase jumlah PNS
terhadap jumlah penduduk masih sekitar 1,98 persen atau di level yang moderat,
tetapi dari postur birokrasi PNS masih bermasalah karena komposisi dan
distribusi pegawai yang tidak proporsional dan penempatannya pun masih banyak sesuai
kompetensi.
Masalah lainnya yaitu belanja
pegawai melebihi 50 persen dari total APBD. Pemerintah pernah melansir data bahwa
belanja pegawai di 294 kabupaten/kota lebih dari 50 persen APBD. Di 116
kabupaten/kota malah mencapai lebih dari 60 persen. Bahkan, ada daerah yang
mengalokasikan belanja pegawai lebih dari 70 persen dari APBD. Biaya pegawai
yang membengkak akan mengurangi alokasi belanja modal. Padahal belanja modal
tersebut dibutuhkan untuk pembenahan dan pembangunan sarana infrastruktur dasar
di daerah
Menurut
Pengamat Ekonomi Dradjad Wibowo, sumber pemborosan utama anggaran pegawai dalam
APBN adalah justru pegawai-pegawai lama. Ada dua jenis pemborosan oleh para PNS
lama ini yaitu pemborosan langsung dalam bentuk gaji dan tunjangan yang
jumlahnya signifikan—lebih dari 50% dari
total alokasi APBD. Kedua, pemborosan tak langsung berupa biaya perjalanan
dinas yang direkayasa, tender proyek yang diatur di belakang layar, dan
lain-lain.Selain itu , pegawai-pegawai lama lebih lihai juga bermain APBN.
Sehingga moratorium atau penghentian sementara perekrutan PNS baru mulai 1
September 2011 sampai Desember 2012 tidak efektif karena hanya akan
menghentikan rekrutmen untuk para pegawai baru.
Langkah
pasca Moratorium
Di masa jeda ini, ada sejumlah PR
besar dibidang Kepegawaian yang harus diselesaikan oleh Pemerintah, antara lain
menghitung data kepegawaian yang valid. Artinya menghitung berapa kebutuhan
pegawai dari masing-masing Kementerian/Lembaga dan Instansi Daerah seperti
dari Gubernur, Bupati/Walikota. Data kepegawaian di seluruh pemerintah daerah
sangat penting agar diketahui persis daerah mana yang kelebihan dan daerah mana
yang masih membutuhkan pegawai.
Saat moratorium, Pemerintah Pusat juga
harus meningkatkan kompetensi dan kapasitas para pegawai negara sipil agar
memenuhi kualitas dan kualifikasi standar kerja yang diperlukan antara lain
dengan memberikan pelatihan kepada PNS yang sudah ada di daerah. Kualifikasi
yang masih jarang dan sangat diperlukan seperti tenaga khusus di bidang hukum
lingkungan hidup atau bertugas menangani pengurusan izin amdal.
Ketiga, memperbaiki postur birokrasi PNS. Saat ini yang terjadi adalah ketimpangan
jumlah pegawai antarinstansi/daerah dan juga ketimpangan formasi pegawai. Pemerintah
harus mempertimbangkan melakukan mutasi di lingkungan Kementerian Lembaga dan
perangkat daerah yang memiliki jumlah pegawai berlebih atau yang masih belum
mencukupi. Apabila diperlukan harus dilakukan mutasi pegawai dari daerah yang
kelebihan ke daerah yang masih kekurangan. Untuk menghemat anggaran, mutasi
dapat dilakukan terlebih dulu
antarkabupaten di dalam satu provinsi, baru setelah itu antarprovinsi. Hal yang
sama berlaku pula apabila pegawai di pusat terlalu banyak sementara di daerah kurang dapat dilakukan realokasi dari pusat ke daerah atau
dari satu direktorat ke direktorat yang lain. Juga mengurangi formasi untuk tata usaha atau
administrasi dan merekrut posisi teknis dibidang kesehatan, pendidikan atau
pertanian seperti guru, penyuluh pertanian, dokter atau perawat.
Keempat,
yaitu wacana pensiun dini. Program ini
rencananya akan dipelopori oleh Kementerian Keuangan dengan menargetkan 1.000
pegawai yang berpotensi kena pensiun dini.
Program ini harus didesain dengan tepat jangan sampai menimbulkan moral hazard di mana PNS yang produktif
malah terdorong pensiun dini. Atau sebaliknya, yang pensiun dini dianggap tidak
mampu atau kalah lobi. Jika pemerintah salah mendesain pensiun dini ini maka
produktivitas PNS di kementerian/lembaga tidak akan membaik dan sebaliknya
apabila program ini berhasil maka akan menekan anggaran belanja pegawai.
Kelima,
mengimplementasikan Teknologi Informasi (TI) dilingkungan birokrasi. Padahal
penerapan TI efektif untuk menurunkan jumlah personel yang diperlukan disebuah
instansi. Hal ini telah berhasil diterapkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan
Negara, sebuah instansi vertikal dibawah Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
Keenam,
menuntaskan permasalahan pengangkatan tenaga honorer. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa banyak tenaga honorer yang yang telah diangkat
berdasarkan PP 48 tahun 2005, basic
pekerjaannya kebanyakan berasal dari tenaga honorer administrasi, petugas,
keamanan, petugas kebersihan, supir, dan sebagian besar diangkat berdasarkan
kedekatan dengan pejabat setempat merupakan hasil nepotisme. Untuk
para honorer ini harus diseleksi berdasarkan kualitas serta diutamakan bagi
yang bergerak dalam bidang pelayanan publik seperti tenaga kesehatan dan
pendidikan.
Ketujuh, apabila kebijakan ini
berhasil secara tidak langsung akan meningkatkan alokasi belanja modal di APBD.
Peningkatan belanja ini untuk pembenahan dan pembangunan sarana infrastruktur
dasar di daerah. Untuk itu, perlu dilakukan revisi UU No. 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang
mewajibkan agar Pemda mengalokasikan
belanja modal mencapai 20 persen APBD atau belanja pegawai tidak melebihi 50
persen.
Dan
yang terakhir,, menuntaskan kesenjangan tunjangan daerah antar
daerah kaya dengan daerah miskin. Caranya yaitu dengan mengatur besaran tunjangan pejabat daerah,
yang timpang antara satu daerah dengan daerah lain. Sebagai contoh, di DKI
Jakarta, tunjangan sekda bisa mencapai Rp50 juta, di daerah lain tidak lebih
Rp5 juta. Jika masalah ini ditertibkan, sudah lumayan banyak menekan belanja
pegawai. Semua problem ini diharapkan dapat dituntaskan sebelum berakhirnya
masa moratorium yakni 31 Desember 2012.
Sebenarnya kebijakan moratorium ini
merupakan satu rangkaian dari Reformasi Birokrasi yang dicanangkan oleh
Presiden SBY dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2011, dengan tujuan agar
Kementerian Lembaga termasuk pemerintah daerah dapat melakukan rightsizing atau restrukturisasi
organisasi dalam rangka meningkatkan produktivitas serta penyesuaian terhadap
kualitas kerja di lingkungan instansi masing-masing. Menurut data Menpan ada
tiga lembaga pemerintah yang menjadi pilot
project dari reformasi birokrasi yaitu Kementerian Keuangan, Badan
Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung. Salah satu Direktorat dibawah
Kementerian Keuangan yang telah dan sedang menerapkan Reformasi Birokrasi
adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Reformasi
Birokrasi Model DJP
Untuk
melihat contoh Reformasi Birokrasi , Pemerintah Daerah tidak perlu jauh-jauh
studi banding ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri. Pemda cukup datang ke
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang telah menerapkan Modernisasi Administrasi
Perpajakan. Di kantor pajak tidak hanya success
story yang ditemui namun juga kisah kegagalan juga ditemui dalam perjalanan
Reformasi Birokrasi. Berikut ini akan penulis paparkan sekelumit perjalanan
panjang reformasi Birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Tak banyak yang mengetahui bahwa
Reformasi Birokrasi DJP Jilid I atau yang lebih dikenal dengan Modernisasi
Administrasi Perpajakan telah dimulai pada era Menkeu Boediono sejak tahun
2002. Modernisasi Administrasi Perpajakan dilakukan dengan beberapa tahapan
secara simultan. Pertama, restrukturisasi organisasi berdasarkan fungsi dan
penerapan prinsip segmentasi Wajib Pajak (WP) melalui penyatuan berbagai jenis
kantor pajak (KPP,KPPBB dan Karikpa) menjadi KPP WP Besar,KPP Madya dan KPP
Pratama untuk melayani seluruh jenis pelayanan (one stop service) untuk seluruh jenis pajak (PPh, PPN dan PBB).
Kedua, penyempurnaan proses bisnis melalui optimalisasi penggunaan teknologi informasi
melalui penulisan SOP, penerapan e-sistem
(e-filing,e-SPT,e-payment, dan e-registration), penyederhanaan sistem
pelaporan serta penerapan konsep Account
Representative. Ketiga,
penyempurnaan sistem manajemen SDM berbasis kompetensi dan kinerja, melalui
pemetaan kompetensi, untuk seluruh pegawai, evaluasi jabatan sekaligus
menetapkan job grade, penilaian
secara lebih objektif dan konsisten sekaligus penetapan standar kompetensi
jabatan. Keempat, pelaksanaan good
governance, melalui penerapan kode etik pegawai secara tegas pada semua
lini organisasi. Terakhir adalah mereformasi kebijakan DJP, dengan
mengamandemen Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU
PPh dan UU PPN dan PPnBM pada tahun 2007-2009.
Kasus
Gayus Tambunan (GT) medio Maret 2010 memberikan bukti bahwa Reformasi Birokrasi
tidak semudah membalikkan telapak tangan dan tidak terjadi dalam semalam saja
layaknya legenda Bandung Bondowoso.
Kasus GT juga membuktikan bahwa Reformasi Birokrasi bukan hanya soal
renumerasi semata sebagaimana anggapan masyarakat selama ini.
Untuk memenuhi harapan masyarakat
yang begitu besar dan dilandasi beban target penerimaan yang semakin besar, DJP
pun terus berbenah diri. Komitmen perbaikan
ini diwujudkan dalam bentuk Reformasi Jilid II. Reformasi Jilid II
menitikberatkan pada dua hal yatiu pengembangan Manajemen SDM dan pengembangan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Salah satu programnya adalah PINTAR
atau Project for Indonesian Tax Reform. PINTAR
merupakan program untuk mengadopsi dan menerapkan international best practice dalam aspek tax service, law enforcement,
struktur organisasi, proses bisnis dan manajemen SDM sebagaimana yang telah diterapkan oleh
negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang. Sasaran akhir Reformasi
Jilid II adalah meningkatnya kepatuhan sukarela WP dan meningkatkan tingkat kepercayaan WP
dengan makin transparan dan akuntabelnya administrasi perpajakan yang dapat memberikan
rasa kenyamanan sekaligus keadilan.
Upaya
perbaikan ini tentu saja memerlukan dukungan dan pengawasan secara aktif dari masyarakat,
walaupun DJP telah mendapat pengawasan langsung dari Komisi Pengawas Perpajakan
(KPP). Harapan kita, komitmen DJP untuk berbenah ini diikuti dengan Reformasi Birokrasi
disemua lini pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah
sehingga tekad Pemerintah SBY untuk menegakkan good governance dapat terwujud.
*) Adalah Pemerhati masalah
Pemerintahan
* Tulisan ini telah Telah dipublikasikan pada
Rubrik Opini Harian Media Kalimantan Hari Kamis, Tanggal 22 September 2011
*) Tulisan merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan
cerminan sikap instansi Penulis bekerja
*) Ingin ngobrol dengan saya? Follow saya di twitter: @yudhimochamad
0 komentar:
Posting Komentar