Artikel

Inflasi versus Pajak Penghasilan[1]
Oleh
Subagio Effendi, SST.CSRA[2]
 “Inflation is always and everywhere a monetary phenomenon”
Milton Friedman, 1968
Dalam berbagai literatur ekonomi, inflasi didefinisikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum. Kebalikan dari inflasi adalah deflasi, yaitu penurunan harga barang dan jasa secara menyeluruh (Mankiw, 2010). Sebagai ilustrasi sederhana, apabila pada tahun 2010 Andi, penduduk kota A, membeli 10 buah apel seharga Rp50.000,00 (Rp5.000,00/apel) kemudian pada tahun 2011 Andi membeli produk yang sama seharga Rp60.000,00 (Rp6.000,00/apel), maka kita dapat menyimpulkan bahwa tingkat inflasi di kota A pada tahun 2011 adalah 20%. Sebaliknya, apabila pada tahun 2011 Andi membeli apel tersebut dengan harga Rp40.000,00 (Rp4.000,00/apel), maka kita dapat menyimpulkan bahwa tingkat deflasi di kota A pada tahun tersebut adalah 20%.
Metode yang banyak digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen/Consumer Price Index (CPI) dengan membandingkan tingkat harga gabungan (basket) beberapa produk tertentu dengan produk yang sama di periode yang menjadi basis penghitungan (base period). CPI biasanya dihitung oleh Badan Statistik atau Ketenagakerjaan terkait setiap triwulan. Walaupun sering dianggap bias, CPI tetap menjadi acuan utama oleh banyak pihak dan pengambil kebijakan dalam mengukur inflasi. Pendekatan lainnya adalah dengan membandingkan angka Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product/GDP) aktual (nominal GDP) dengan angka GDP yang menggunakan tingkat harga periode basis (real GDP) yang umumnya dikenal dengan nama GDP deflator.
Teori ekonomi pada umumnya menghubungkan inflasi dengan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. David Hume (1776), seorang filsuf dan ekonom moneter kenamaan, mengemukakan bahwa apabila kecepatan uang untuk berpindah tangan dalam perekonomian dianggap konstan, maka jumlah uang yang beredar akan menentukan tingkat harga. Maka, apabila Bank Sentral dapat mempertahankan kestabilan supply uang dalam perekonomian, maka tingkat harga akan stabil. Sebaliknya, apabila Bank Sentral menambah supply uang dalam perekonomian, maka tingkat harga akan meningkat. Teori ini yang kemudian dikenal sebagai the Quantity Theory of Money
Secara natural, inflasi akan mengurangi penghasilan riil yang diterima. Irving Fisher (1947) menjelaskan bahwa penghasilan riil akan sama dengan penghasilan nominal setelah dikurangi dengan tingkat inflasi. Definisi penghasilan nominal adalah penghasilan aktual yang sebenarnya diterima dalam satuan mata uang, sedangkan penghasilan riil adalah jumlah barang atau jasa yang dapat dikonsumsi dengan penghasilan tersebut.
Dampak negatif inflasi terhadap penghasilan tersebut kita kenal sebagai Fisher Effect. Pengembangan dari Fisher Theory kemudian mengklasifikasikan inflasi dalam dua kategori yaitu tingkat inflasi sebenarnya yang terjadi (actual inflation) dan ekspektasi tingkat inflasi yang akan terjadi (expected inflation).
Inflasi versus Pajak Penghasilan
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) mendefinisikan Pajak Penghasilan (PPh) sebagai pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pasal 4 ayat (1) selanjutnya mendefinisikan penghasilan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Kemudian dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) ditegaskan bahwa UU PPh menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun sumbernya (world-wide income) yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam UU PPh tersebut tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak. Unsur tambahan kemampuan ekonomis tersebut diyakini merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan Pemerintah untuk kegiatan rutin pemerintahan dan pembangunan.
Dengan mempelajari definisi penghasilan dalam UU PPh tersebut kita dapat mengidentifikasi beberapa aspek penting, yaitu:
1.       Penghasilan adalah suatu tambahan kemampuan ekonomis yaitu penambahan kemampuan yang diukur dengan indikator-indikator ekonomi seperti tingkat kepuasan (utility), kesejahteraan (welfare) dan keuntungan (profit). Dengan kata lain, Wajib Pajak dapat diindikasikan memiliki tambahan penghasilan apabila terdapat peningkatan dalam tingkatan utility, welfare dan profit yang dimilikinya;
2.       Penghasilan dapat diterima atau diperoleh, artinya UU PPh tersebut tidak membedakan bagaimana metode penghasilan tersebut didapatkan. Dalam perspektif akuntansi keuangan, diterima dapat berarti penghasilan yang didapatkan secara tunai (cash basis) atau dapat juga berarti passive income seperti bunga, sewa, dividen dan royalti. Sedangkan diperoleh dapat berarti penghasilan yang belum didapatkan secara tunai, namun sudah dapat diakui dalam pembukuan (accrual basis) atau dapat juga berarti active income seperti gaji, imbalan jasa, komisi dan laba usaha;
3.       Penghasilan dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak, artinya penghasilan tersebut harus dapat memberikan nilai tambah secara ekonomis berupa peningkatan jumlah konsumsi atau kekayaan Wajib Pajak tersebut sesuai dengan tingkat kecenderungannya untuk membelanjakan setiap tambahan penghasilan yang diperoleh (Marginal Propensity to Consume).
Berdasarkan analisis di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dalam definisi penghasilan menurut UU PPh pada hakikatnya adalah penghasilan riil, yaitu tambahan kemampuan ekonomis yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak. Merujuk kembali pada Fisher Theory bahwa penghasilan riil akan sama dengan penghasilan nominal dikurangi dengan tingkat inflasi, maka seyogyanya Pemerintah menggunakan kerangka berfikir yang sama dalam mekanisme penghitungan PPh.
Sebagai ilustrasi, apabila pada tahun 2011 Andi, penduduk kota A, menyewakan asset-nya dan menerima penghasilan berupa sewa sebesar Rp1.000.000,00, apabila tingkat inflasi di kota A sebesar 20% maka jumlah penghasilan riil yang menjadi tambahan kemampuan ekonomis bagi Andi untuk konsumsi atau menambah kekayaannya adalah sebesar Rp800.000,00 (Rp1.000.000,00 dikurangi inflasi sebesar 20%) bukan Rp1.000.000,00, sehingga dengan kerangka berfikir yang sama, seyogyanya penghasilan riil tersebut yang menjadi dasar penghitungan PPh bagi Andi.
Beberapa ekonom menyebut inflasi sebagai inflation tax, karena pada hakikatnya inflasi mempunyai efek yang sama dengan pajak dalam mengurangi nilai riil dari penghasilan. Ketika inflasi terjadi, maka uang yang kita miliki menjadi lebih tidak berharga karena daya beli riil-nya telah menurun, sehingga beberapa ekonom menyamakan inflasi sebagai pajak atas kepemilikan uang (tax on holding money). Berdasarkan analogi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa apabila Pemerintah menggunakan penghasilan nominal Wajib Pajak sebagai dasar penghitungan PPh-nya, maka telah terjadi “pajak berganda” secara ekonomis (economic-double taxation) atas penghasilan Wajib Pajak tersebut. 
Metode untuk Mengakomodasi Aspek Inflasi dalam Penghitungan PPh
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat memahami bahwa untuk menciptakan mekanisme pengenaan pajak yang fair dan sesuai dengan amanat Undang-Undang, maka Pemerintah perlu untuk memperhitungkan aspek inflasi dalam penghitungannya. Konsep tersebut mungkin sangat ideal dalam tataran teori, namun akan sangat sulit diaplikasikan dalam praktiknya karena tidak mudah untuk mengukur tingkat inflasi aktual yang terjadi di masa depan.
Oleh sebab itu, pilihan terbaik yang dapat diambil oleh Pemerintah, menurut pendapat Penulis, adalah dengan menggunakan angka expected inflation yang konsisten dengan asumsi tingkat inflasi yang digunakan dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada periode yang sama. Dengan menggunakan angka expected inflation tersebut, beberapa metode yang dapat digunakan oleh Pemerintah untuk mengakomodasi aspek inflasi dalam penghitungan PPh adalah sebagai berikut:
1.       Deemed Inflation Expense
Metode deemed biaya inflasi bisa jadi merupakan metode yang tidak lazim diterapkan untuk mengakomodasi aspek inflasi dalam penghitungan PPh. Dengan metode ini, Pemerintah mengasumsikan adanya biaya inflasi sebesar angka expected inflation dikalikan dengan jumlah penghasilan nominal bagi setiap Wajib Pajak. Biaya tersebut kemudian dikurangkan (deductible expense) dari penghasilan neto pada saat menghitung penghasilan kena pajak. Barangkali karena banyak ketidaksesuaian dengan prinsip-prinsip akuntansi keuangan dan perpajakan, metode ini tidak lazim digunakan oleh otoritas perpajakan.

2.       Norma Penghasilan Neto
Metode norma penghasilan neto telah cukup lama digunakan dalam sistem perpajakan Indonesia, di mana PPh dikenakan tidak atas total penghasilan nominal yang diterima namun dikalikan terlebih dahulu dengan persentase tertentu untuk mendapatkan penghasilan neto baru kemudian dihitung PPh yang terutang. Pemerintah dapat menggunakan metode ini untuk mengakomodasi aspek inflasi dengan menetapkan angka expected inflation sebagai salah satu kriteria dalam menentukan besarnya persentase penghasilan neto, di samping kriteria lainnya seperti biaya-biaya yang diperlukan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan tersebut.
Sebagai ilustrasi, untuk penghasilan sewa asset biaya-biaya yang diperlukan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan tersebut diperkirakan sebesar 40% dari total penghasilan bruto. Apabila expected inflation pada periode diterimanya penghasilan ditetapkan sebesar 20%. Maka Pemerintah dapat menetapkan norma penghasilan neto untuk penghasilan sewa asset adalah sebesar 40% dari penghasilan bruto. Metode ini relatif lebih mudah untuk diaplikasikan dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akuntansi keuangan dan perpajakan, sehingga jauh lebih feasible dari metode sebelumnya.

3.       Basic/Personal Exemption
Metode Basic/Personal Exemption adalah metode yang paling banyak digunakan oleh otoritas perpajakan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman dan Belanda untuk mengakomodasi aspek inflasi dalam penghitungan PPh. Dalam sistem perpajakan Indonesia, metode ini diaplikasikan dalam bentuk Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang diberikan kepada setiap Wajib Pajak sesuai dengan status pernikahan dan jumlah keluarga yang menjadi tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU PPh.
Dengan metode ini, PPh tidak dihitung berdasarkan penghasilan nominal yang diterima oleh Wajib Pajak tetapi berdasarkan Penghasilan Kena Pajak (taxable income) setelah dikurangi PTKP terlebih dahulu. PTKP dianggap sebagai biaya yang diperlukan untuk hidup (cost of live) secara wajar di Indonesia. Saat ini, jumlah PTKP yang diberikan oleh pemerintah adalah sebesar Rp15.840.000,00 per tahun untuk setiap Wajib Pajak dan tambahan sebesar Rp1.320.000,00 untuk status menikah dan setiap anggota keluarga yang menjadi tanggungan. Jumlah tersebut dapat disesuaikan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya (inflasi/deflasi).
Pemerintah dapat menggunakan PTKP sebagai instrumen yang efektif untuk mengakomodasi aspek inflasi dalam penghitungan PPh dengan menggunakan angka expected inflation sebagai salah satu kriteria dalam menentukan besarnya PTKP sesuai dengan amanat Pasal 7 UU PPh. Konsekuensinya, batasan PTKP yang diberikan akan selalu berubah setiap tahunnya sesuai dengan asumsi expected inflation yang digunakan. Pemerintah juga dapat membuat batasan PTKP yang berbeda untuk setiap wilayah (kabupaten/kotamadya/provinsi) dengan mengacu pada logika berfikir bahwa tingkat inflasi setiap wilayah akan berbeda sehingga asumsi biaya hidup dan expected inflation­-nya pun akan berbeda.
Salah satu aspek yang menjadi kelemahan metode ini adalah merumuskan bentuk basic exemption untuk Wajib Pajak badan, mengingat dalam sistem perpajakan Indonesia saat ini tidak dikenal adanya basic exemption untuk Wajib Pajak badan. Kondisi ini akan menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak badan. Untuk itu, pemerintah perlu merumuskan bentuk basic exemption yang ideal untuk Wajib Pajak badan atau menggunakan metode lain untuk mengakomodasi aspek inflasi seperti norma penghasilan neto.
Kesimpulan
Pemerintah perlu mengakomodasi aspek inflasi dalam penghitungan PPh untuk menciptakan sistem perpajakan yang fair serta equitable secara ekonomis sesuai dengan prinsip dasar perpajakan dan amanat UU PPh. Pilihan metode apapun yang akan diambil, seyogyanya dilakukan berdasarkan simulasi kebijakan dan penelitian yang komprehensif agar tujuan dari kebijakan tersebut dapat tercapai.
Para akademisi, ekonom, Wajib Pajak dan stakeholder lainnya dapat berperan serta dengan memberi masukan secara aktif kepada pemerintah untuk merumuskan pilihan kebijakan yang tepat. Tujuannya, agar sistem perpajakan Indonesia dapat memberikan manfaat secara optimal bagi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. 
**********

Referensi
Mankiw, Gregory N. 2010. Macroeconomics; 7th International Edition. New York, Worth Publishers.
Nicholson, Snyder. 2010. Theory and Application of Intermediate Microeconomics; 11th International Edition. Canada, South-Western Cengage Learning.
Pemerintah Republik Indonesia, 2008, Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.






[1] Dimuat di Indonesian Tax Review Volume V/Edisi 1/2012
[2] Penulis adalah staf Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan dan mahasiswa di National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo. Penulis dapat dihubungi di subagio.effendi@gmail.com.


 Moratorium CPNS dan Reformasi Birokrasi Model DJP
Oleh : Mochamad Yudhi P. 

Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, serta Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi resmi menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai penghentian sementara atau moratorium penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang  dilaksanakan di hadapan Wakil Presiden Boediono di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu 24 Agustus 2011. Juru Bicara Wakil Presiden Yopie Hidayat  menyebutkan bahwa kebijakan moratorium CPNS ditetapkan sejak 1 September 2011 hingga 12 Desember 2012.


Sebagai catatan per 13 Mei 2011, jumlah PNS di Indonesia tercatat sebanyak 4.708.330 orang, atau memiliki persentase 1,98 persen dibanding jumlah penduduk sekitar 237 juta jiwa lebih. Menurut lokasi, jumlah PNS pusat sekitar 916.493 orang (19,5 persen), sementara PNS daerah mencapai 3.791.837 orang (80,5 persen). Sedangkan PNS yang pensiun pada 2011 ini, menurut Menteri Pemberdayaagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan, sebesar 107 ribu dan pada 2012 sebesar 114 ribu PNS yang akan pensiun. Meskipun persentase jumlah PNS terhadap jumlah penduduk masih sekitar 1,98 persen atau di level yang moderat, tetapi dari postur birokrasi PNS masih bermasalah karena komposisi dan distribusi pegawai yang tidak proporsional dan penempatannya pun masih banyak sesuai kompetensi.
Masalah lainnya yaitu belanja pegawai melebihi 50 persen dari total APBD. Pemerintah pernah melansir data bahwa belanja pegawai di 294 kabupaten/kota lebih dari 50 persen APBD. Di 116 kabupaten/kota malah mencapai lebih dari 60 persen. Bahkan, ada daerah yang mengalokasikan belanja pegawai lebih dari 70 persen dari APBD. Biaya pegawai yang membengkak akan mengurangi alokasi belanja modal. Padahal belanja modal tersebut dibutuhkan untuk pembenahan dan pembangunan sarana infrastruktur dasar di daerah
Menurut Pengamat Ekonomi Dradjad Wibowo, sumber pemborosan utama anggaran pegawai dalam APBN adalah justru pegawai-pegawai lama. Ada dua jenis pemborosan oleh para PNS lama ini yaitu pemborosan langsung dalam bentuk gaji dan tunjangan yang jumlahnya  signifikan—lebih dari 50% dari total alokasi APBD. Kedua, pemborosan tak langsung berupa biaya perjalanan dinas yang direkayasa, tender proyek yang diatur di belakang layar, dan lain-lain.Selain itu , pegawai-pegawai lama lebih lihai juga bermain APBN. Sehingga moratorium atau penghentian sementara perekrutan PNS baru mulai 1 September 2011 sampai Desember 2012 tidak efektif karena hanya akan menghentikan rekrutmen untuk para pegawai baru.

Langkah pasca Moratorium
Di masa jeda ini, ada sejumlah PR besar dibidang Kepegawaian yang harus diselesaikan oleh Pemerintah, antara lain menghitung data kepegawaian yang valid. Artinya menghitung berapa kebutuhan pegawai dari masing-masing  Kementerian/Lembaga dan Instansi Daerah seperti dari Gubernur, Bupati/Walikota. Data kepegawaian di seluruh pemerintah daerah sangat penting agar diketahui persis daerah mana yang kelebihan dan daerah mana yang masih membutuhkan pegawai.
Saat moratorium, Pemerintah Pusat juga harus meningkatkan kompetensi dan kapasitas para pegawai negara sipil agar memenuhi kualitas dan kualifikasi standar kerja yang diperlukan antara lain dengan memberikan pelatihan kepada PNS yang sudah ada di daerah. Kualifikasi yang masih jarang dan sangat diperlukan seperti tenaga khusus di bidang hukum lingkungan hidup atau bertugas menangani pengurusan izin amdal.
Ketiga, memperbaiki postur  birokrasi PNS. Saat ini yang terjadi adalah ketimpangan jumlah pegawai antarinstansi/daerah dan juga ketimpangan formasi pegawai. Pemerintah harus mempertimbangkan melakukan mutasi di lingkungan Kementerian Lembaga dan perangkat daerah yang memiliki jumlah pegawai berlebih atau yang masih belum mencukupi. Apabila diperlukan harus dilakukan mutasi pegawai dari daerah yang kelebihan ke daerah yang masih kekurangan. Untuk menghemat anggaran, mutasi dapat  dilakukan terlebih dulu antarkabupaten di dalam satu provinsi, baru setelah itu antarprovinsi. Hal yang sama berlaku pula apabila pegawai di pusat terlalu banyak sementara  di daerah kurang dapat  dilakukan realokasi dari pusat ke daerah atau dari satu direktorat ke direktorat yang lain.  Juga mengurangi formasi untuk tata usaha atau administrasi dan merekrut posisi teknis dibidang kesehatan, pendidikan atau pertanian seperti guru, penyuluh pertanian, dokter atau perawat.
Keempat, yaitu  wacana pensiun dini. Program ini rencananya akan dipelopori oleh Kementerian Keuangan dengan menargetkan 1.000 pegawai yang berpotensi kena pensiun dini.  Program ini harus didesain dengan tepat jangan sampai menimbulkan moral hazard di mana PNS yang produktif malah terdorong pensiun dini. Atau sebaliknya, yang pensiun dini dianggap tidak mampu atau kalah lobi. Jika pemerintah salah mendesain pensiun dini ini maka produktivitas PNS di kementerian/lembaga tidak akan membaik dan sebaliknya apabila program ini berhasil maka akan menekan anggaran belanja pegawai.
Kelima, mengimplementasikan Teknologi Informasi (TI) dilingkungan birokrasi. Padahal penerapan TI efektif untuk menurunkan jumlah personel yang diperlukan disebuah instansi. Hal ini telah berhasil diterapkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, sebuah instansi vertikal dibawah Ditjen Perbendaharaan  Kementerian Keuangan.
Keenam, menuntaskan permasalahan pengangkatan tenaga honorer. Sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak tenaga honorer yang yang telah diangkat berdasarkan PP 48 tahun 2005, basic pekerjaannya kebanyakan berasal dari tenaga honorer administrasi, petugas, keamanan, petugas kebersihan, supir, dan sebagian besar diangkat berdasarkan kedekatan dengan pejabat setempat merupakan hasil nepotisme. Untuk para honorer ini harus diseleksi berdasarkan kualitas serta diutamakan bagi yang bergerak dalam bidang pelayanan publik seperti tenaga kesehatan dan pendidikan.
Ketujuh, apabila kebijakan ini berhasil secara tidak langsung akan meningkatkan alokasi belanja modal di APBD. Peningkatan belanja ini untuk pembenahan dan pembangunan sarana infrastruktur dasar di daerah. Untuk itu, perlu dilakukan revisi UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang mewajibkan  agar Pemda mengalokasikan belanja modal mencapai 20 persen APBD atau belanja pegawai tidak melebihi 50 persen.
Dan yang terakhir,, menuntaskan kesenjangan tunjangan daerah antar daerah kaya dengan daerah miskin. Caranya yaitu dengan  mengatur besaran tunjangan pejabat daerah, yang timpang antara satu daerah dengan daerah lain. Sebagai contoh, di DKI Jakarta, tunjangan sekda bisa mencapai Rp50 juta, di daerah lain tidak lebih Rp5 juta. Jika masalah ini ditertibkan, sudah lumayan banyak menekan belanja pegawai. Semua problem ini diharapkan dapat dituntaskan sebelum berakhirnya masa moratorium yakni 31 Desember 2012.
Sebenarnya kebijakan moratorium ini merupakan satu rangkaian dari Reformasi Birokrasi yang dicanangkan oleh Presiden SBY dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2011, dengan tujuan agar Kementerian Lembaga termasuk pemerintah daerah dapat melakukan rightsizing atau restrukturisasi organisasi dalam rangka meningkatkan produktivitas serta penyesuaian terhadap kualitas kerja di lingkungan instansi masing-masing. Menurut data Menpan ada tiga lembaga pemerintah yang menjadi pilot project dari reformasi birokrasi yaitu Kementerian Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung. Salah satu Direktorat dibawah Kementerian Keuangan yang telah dan sedang menerapkan Reformasi Birokrasi adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP).



Reformasi Birokrasi Model DJP
            Untuk melihat contoh Reformasi Birokrasi , Pemerintah Daerah tidak perlu jauh-jauh studi banding ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri. Pemda cukup datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang telah menerapkan Modernisasi Administrasi Perpajakan. Di kantor pajak tidak hanya success story yang ditemui namun juga kisah kegagalan juga ditemui dalam perjalanan Reformasi Birokrasi. Berikut ini akan penulis paparkan sekelumit perjalanan panjang reformasi Birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Tak banyak yang mengetahui bahwa Reformasi Birokrasi DJP Jilid I atau yang lebih dikenal dengan Modernisasi Administrasi Perpajakan telah dimulai pada era Menkeu Boediono sejak tahun 2002. Modernisasi Administrasi Perpajakan dilakukan dengan beberapa tahapan secara simultan. Pertama, restrukturisasi organisasi berdasarkan fungsi dan penerapan prinsip segmentasi Wajib Pajak (WP) melalui penyatuan berbagai jenis kantor pajak (KPP,KPPBB dan Karikpa) menjadi KPP WP Besar,KPP Madya dan KPP Pratama untuk melayani seluruh jenis pelayanan (one stop service) untuk seluruh jenis pajak (PPh, PPN dan PBB). Kedua, penyempurnaan proses bisnis melalui optimalisasi penggunaan teknologi informasi melalui penulisan SOP, penerapan e-sistem (e-filing,e-SPT,e-payment, dan e-registration), penyederhanaan sistem pelaporan serta penerapan konsep Account Representative.  Ketiga, penyempurnaan sistem manajemen SDM berbasis kompetensi dan kinerja, melalui pemetaan kompetensi, untuk seluruh pegawai, evaluasi jabatan sekaligus menetapkan job grade, penilaian secara lebih objektif dan konsisten sekaligus penetapan standar kompetensi jabatan. Keempat, pelaksanaan good governance, melalui penerapan kode etik pegawai secara tegas pada semua lini organisasi. Terakhir adalah mereformasi kebijakan DJP, dengan mengamandemen Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU PPh dan UU PPN dan PPnBM pada tahun 2007-2009.
            Kasus Gayus Tambunan (GT) medio Maret 2010 memberikan bukti bahwa Reformasi Birokrasi tidak semudah membalikkan telapak tangan dan tidak terjadi dalam semalam saja layaknya legenda Bandung Bondowoso.  Kasus GT juga membuktikan bahwa Reformasi Birokrasi bukan hanya soal renumerasi semata sebagaimana anggapan masyarakat selama ini.
Untuk memenuhi harapan masyarakat yang begitu besar dan dilandasi beban target penerimaan yang semakin besar, DJP pun terus berbenah diri. Komitmen  perbaikan ini diwujudkan dalam bentuk Reformasi Jilid II. Reformasi Jilid II menitikberatkan pada dua hal yatiu pengembangan Manajemen SDM dan pengembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Salah satu programnya adalah PINTAR atau  Project for Indonesian Tax Reform. PINTAR merupakan program untuk mengadopsi dan menerapkan international best practice  dalam aspek tax service, law enforcement, struktur organisasi, proses bisnis dan manajemen SDM  sebagaimana yang telah diterapkan oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang. Sasaran akhir Reformasi Jilid II adalah meningkatnya kepatuhan sukarela WP  dan meningkatkan tingkat kepercayaan WP dengan makin transparan dan akuntabelnya administrasi perpajakan yang dapat memberikan rasa kenyamanan sekaligus keadilan.
            Upaya perbaikan ini tentu saja memerlukan dukungan dan pengawasan secara aktif dari masyarakat, walaupun DJP telah mendapat pengawasan langsung dari Komisi Pengawas Perpajakan (KPP). Harapan kita, komitmen DJP untuk berbenah ini diikuti dengan Reformasi Birokrasi disemua lini pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sehingga tekad Pemerintah SBY untuk menegakkan good governance dapat terwujud.

*) Adalah Pemerhati masalah Pemerintahan
* Tulisan ini telah Telah dipublikasikan pada Rubrik Opini Harian Media Kalimantan Hari      Kamis, Tanggal 22 September 2011


0 komentar:

Posting Komentar