Inflasi versus Pajak
Penghasilan[1]
Oleh
Subagio Effendi, SST.CSRA[2]
“Inflation
is always and everywhere a monetary phenomenon”
Milton
Friedman, 1968
Dalam
berbagai literatur ekonomi, inflasi didefinisikan sebagai kenaikan harga barang
dan jasa secara umum. Kebalikan dari inflasi adalah deflasi, yaitu penurunan
harga barang dan jasa secara menyeluruh (Mankiw, 2010). Sebagai ilustrasi
sederhana, apabila pada tahun 2010 Andi, penduduk kota A, membeli 10 buah apel
seharga Rp50.000,00 (Rp5.000,00/apel) kemudian pada tahun 2011 Andi membeli
produk yang sama seharga Rp60.000,00 (Rp6.000,00/apel), maka kita dapat
menyimpulkan bahwa tingkat inflasi di kota A pada tahun 2011 adalah 20%.
Sebaliknya, apabila pada tahun 2011 Andi membeli apel tersebut dengan harga
Rp40.000,00 (Rp4.000,00/apel), maka kita dapat menyimpulkan bahwa tingkat
deflasi di kota A pada tahun tersebut adalah 20%.
Metode
yang banyak digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen/Consumer Price Index (CPI) dengan membandingkan tingkat harga
gabungan (basket) beberapa produk
tertentu dengan produk yang sama di periode yang menjadi basis penghitungan (base period). CPI biasanya dihitung oleh
Badan Statistik atau Ketenagakerjaan terkait setiap triwulan. Walaupun sering dianggap
bias, CPI tetap menjadi acuan utama oleh banyak pihak dan
pengambil kebijakan dalam mengukur inflasi. Pendekatan lainnya adalah
dengan membandingkan angka Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product/GDP) aktual (nominal GDP) dengan angka GDP yang menggunakan tingkat harga
periode basis (real GDP) yang umumnya
dikenal dengan nama GDP deflator.
Teori
ekonomi pada umumnya menghubungkan inflasi dengan jumlah uang yang beredar
dalam perekonomian. David Hume (1776), seorang filsuf dan ekonom moneter
kenamaan, mengemukakan bahwa apabila kecepatan uang untuk berpindah tangan
dalam perekonomian dianggap konstan, maka jumlah uang yang beredar akan
menentukan tingkat harga. Maka, apabila Bank
Sentral dapat mempertahankan kestabilan supply
uang dalam perekonomian, maka tingkat harga akan stabil. Sebaliknya,
apabila Bank Sentral menambah supply
uang dalam perekonomian, maka tingkat harga akan meningkat. Teori ini yang
kemudian dikenal sebagai the Quantity
Theory of Money.
Secara
natural, inflasi akan mengurangi penghasilan riil yang diterima. Irving Fisher
(1947) menjelaskan bahwa penghasilan riil akan sama dengan penghasilan nominal setelah dikurangi dengan tingkat inflasi. Definisi
penghasilan nominal adalah penghasilan aktual yang sebenarnya diterima dalam
satuan mata uang, sedangkan penghasilan riil adalah jumlah barang atau jasa
yang dapat dikonsumsi dengan penghasilan tersebut.
Dampak
negatif inflasi terhadap penghasilan tersebut kita kenal sebagai Fisher Effect. Pengembangan dari Fisher Theory kemudian mengklasifikasikan
inflasi dalam dua kategori yaitu tingkat inflasi sebenarnya yang terjadi (actual inflation) dan ekspektasi tingkat
inflasi yang akan terjadi (expected
inflation).
Inflasi versus Pajak Penghasilan
Pasal
1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) mendefinisikan
Pajak Penghasilan (PPh) sebagai pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pasal 4 ayat (1)
selanjutnya mendefinisikan penghasilan sebagai setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apapun.
Kemudian
dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) ditegaskan bahwa UU PPh menganut prinsip
pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak
dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak dari manapun sumbernya (world-wide
income) yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib
Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam UU PPh tersebut tidak memperhatikan
adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak. Unsur tambahan kemampuan
ekonomis tersebut diyakini merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib
Pajak untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan Pemerintah untuk
kegiatan rutin pemerintahan dan pembangunan.
Dengan
mempelajari definisi penghasilan dalam UU PPh tersebut kita dapat
mengidentifikasi beberapa aspek penting, yaitu:
1.
Penghasilan
adalah suatu tambahan kemampuan ekonomis yaitu penambahan kemampuan yang diukur
dengan indikator-indikator ekonomi seperti tingkat kepuasan (utility), kesejahteraan (welfare) dan keuntungan (profit). Dengan kata lain, Wajib Pajak
dapat diindikasikan memiliki tambahan penghasilan apabila terdapat peningkatan
dalam tingkatan utility, welfare dan profit yang dimilikinya;
2.
Penghasilan
dapat diterima atau diperoleh, artinya UU PPh tersebut tidak membedakan
bagaimana metode penghasilan tersebut didapatkan. Dalam perspektif akuntansi
keuangan, diterima dapat berarti penghasilan yang didapatkan secara tunai (cash basis) atau dapat juga berarti passive income seperti bunga, sewa,
dividen dan royalti. Sedangkan diperoleh dapat berarti penghasilan yang belum
didapatkan secara tunai, namun sudah dapat diakui dalam pembukuan (accrual basis) atau dapat juga berarti active income seperti gaji, imbalan
jasa, komisi dan laba usaha;
3.
Penghasilan
dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak, artinya
penghasilan tersebut harus dapat memberikan nilai tambah secara ekonomis berupa
peningkatan jumlah konsumsi atau kekayaan Wajib Pajak tersebut sesuai dengan
tingkat kecenderungannya untuk membelanjakan setiap tambahan penghasilan yang
diperoleh (Marginal Propensity to Consume).
Berdasarkan analisis di atas, kita dapat
menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dalam definisi penghasilan menurut UU
PPh pada hakikatnya adalah penghasilan riil, yaitu tambahan kemampuan ekonomis
yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak. Merujuk
kembali pada Fisher Theory bahwa penghasilan riil akan sama dengan penghasilan
nominal dikurangi dengan tingkat inflasi, maka seyogyanya Pemerintah
menggunakan kerangka berfikir yang sama dalam mekanisme penghitungan PPh.
Sebagai ilustrasi, apabila pada tahun
2011 Andi, penduduk kota A, menyewakan asset-nya
dan menerima penghasilan berupa sewa sebesar Rp1.000.000,00, apabila tingkat
inflasi di kota A sebesar 20% maka jumlah penghasilan riil yang menjadi
tambahan kemampuan ekonomis bagi Andi untuk konsumsi atau menambah kekayaannya
adalah sebesar Rp800.000,00 (Rp1.000.000,00 dikurangi inflasi sebesar 20%)
bukan Rp1.000.000,00, sehingga dengan kerangka berfikir yang sama, seyogyanya
penghasilan riil tersebut yang menjadi dasar penghitungan PPh bagi Andi.
Beberapa ekonom menyebut inflasi sebagai
inflation tax, karena pada hakikatnya
inflasi mempunyai efek yang sama dengan pajak dalam mengurangi nilai riil dari
penghasilan. Ketika inflasi terjadi, maka uang yang kita miliki menjadi lebih
tidak berharga karena daya beli riil-nya telah menurun, sehingga beberapa
ekonom menyamakan inflasi sebagai pajak atas kepemilikan uang (tax on holding money). Berdasarkan
analogi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa apabila Pemerintah menggunakan
penghasilan nominal Wajib Pajak sebagai dasar penghitungan PPh-nya, maka telah
terjadi “pajak berganda” secara ekonomis (economic-double
taxation) atas penghasilan Wajib Pajak tersebut.
Metode untuk Mengakomodasi Aspek Inflasi
dalam Penghitungan PPh
Berdasarkan
uraian di atas, kita dapat memahami bahwa untuk menciptakan mekanisme pengenaan
pajak yang fair dan sesuai dengan amanat Undang-Undang, maka Pemerintah perlu untuk
memperhitungkan aspek inflasi dalam penghitungannya. Konsep tersebut mungkin
sangat ideal dalam tataran teori, namun akan sangat sulit diaplikasikan dalam
praktiknya karena tidak mudah untuk mengukur tingkat inflasi aktual yang
terjadi di masa depan.
Oleh
sebab itu, pilihan terbaik yang dapat diambil oleh Pemerintah, menurut pendapat
Penulis, adalah dengan menggunakan angka expected
inflation yang konsisten dengan asumsi tingkat inflasi yang digunakan dalam
menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada periode yang sama. Dengan
menggunakan angka expected inflation tersebut,
beberapa metode yang dapat digunakan oleh Pemerintah untuk mengakomodasi aspek
inflasi dalam penghitungan PPh adalah sebagai berikut:
1.
Deemed Inflation Expense
Metode deemed biaya inflasi bisa jadi merupakan metode yang tidak lazim
diterapkan untuk mengakomodasi aspek inflasi dalam penghitungan PPh. Dengan
metode ini, Pemerintah mengasumsikan adanya biaya inflasi sebesar angka expected inflation dikalikan dengan
jumlah penghasilan nominal bagi setiap Wajib Pajak. Biaya tersebut kemudian
dikurangkan (deductible expense) dari
penghasilan neto pada saat menghitung penghasilan kena pajak. Barangkali karena
banyak ketidaksesuaian dengan prinsip-prinsip akuntansi keuangan dan
perpajakan, metode ini tidak lazim digunakan oleh otoritas perpajakan.
2.
Norma
Penghasilan Neto
Metode
norma penghasilan neto telah cukup lama digunakan dalam sistem perpajakan
Indonesia, di mana PPh dikenakan tidak atas total penghasilan nominal yang
diterima namun dikalikan terlebih dahulu dengan persentase tertentu untuk
mendapatkan penghasilan neto baru kemudian dihitung PPh yang terutang.
Pemerintah dapat menggunakan metode ini untuk mengakomodasi aspek inflasi
dengan menetapkan angka expected
inflation sebagai salah satu kriteria dalam menentukan besarnya persentase penghasilan neto, di samping
kriteria lainnya seperti biaya-biaya yang diperlukan untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan tersebut.
Sebagai
ilustrasi, untuk penghasilan sewa asset
biaya-biaya yang diperlukan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan tersebut diperkirakan sebesar 40% dari total penghasilan bruto.
Apabila expected inflation pada
periode diterimanya penghasilan ditetapkan sebesar 20%. Maka Pemerintah dapat menetapkan
norma penghasilan neto untuk penghasilan sewa asset adalah sebesar 40% dari penghasilan bruto. Metode ini relatif
lebih mudah untuk diaplikasikan dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
akuntansi keuangan dan perpajakan, sehingga jauh lebih feasible dari metode sebelumnya.
3.
Basic/Personal Exemption
Metode
Basic/Personal Exemption adalah
metode yang paling banyak digunakan oleh otoritas perpajakan di negara-negara
maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman dan Belanda untuk mengakomodasi
aspek inflasi dalam penghitungan PPh. Dalam sistem perpajakan Indonesia, metode
ini diaplikasikan dalam bentuk Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang
diberikan kepada setiap Wajib Pajak sesuai dengan status pernikahan dan jumlah
keluarga yang menjadi tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU PPh.
Dengan
metode ini, PPh tidak dihitung berdasarkan penghasilan nominal yang diterima
oleh Wajib Pajak tetapi berdasarkan Penghasilan Kena Pajak (taxable income) setelah dikurangi PTKP
terlebih dahulu. PTKP dianggap sebagai biaya yang diperlukan untuk hidup (cost of live) secara wajar di Indonesia.
Saat ini, jumlah PTKP yang diberikan oleh pemerintah adalah sebesar
Rp15.840.000,00 per tahun untuk setiap Wajib Pajak dan tambahan sebesar
Rp1.320.000,00 untuk status menikah dan setiap anggota
keluarga yang menjadi tanggungan. Jumlah tersebut dapat disesuaikan
dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta
perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya (inflasi/deflasi).
Pemerintah
dapat menggunakan PTKP sebagai instrumen yang efektif untuk mengakomodasi aspek
inflasi dalam penghitungan PPh dengan menggunakan angka expected inflation sebagai salah satu kriteria dalam menentukan
besarnya PTKP sesuai dengan amanat Pasal 7 UU PPh. Konsekuensinya, batasan PTKP
yang diberikan akan selalu berubah setiap tahunnya sesuai dengan asumsi expected inflation yang digunakan.
Pemerintah juga dapat membuat batasan PTKP yang berbeda untuk setiap wilayah (kabupaten/kotamadya/provinsi)
dengan mengacu pada logika berfikir bahwa
tingkat inflasi setiap wilayah akan berbeda sehingga asumsi biaya hidup dan expected inflation-nya pun akan
berbeda.
Salah
satu aspek yang menjadi kelemahan metode ini adalah merumuskan bentuk basic exemption untuk Wajib Pajak badan,
mengingat dalam sistem perpajakan Indonesia saat ini tidak dikenal adanya basic exemption untuk Wajib Pajak badan.
Kondisi ini akan menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak badan. Untuk itu, pemerintah perlu merumuskan
bentuk basic exemption yang ideal
untuk Wajib Pajak badan atau menggunakan metode lain untuk mengakomodasi aspek
inflasi seperti norma penghasilan neto.
Kesimpulan
Pemerintah perlu
mengakomodasi aspek inflasi dalam penghitungan PPh untuk menciptakan sistem
perpajakan yang fair serta equitable secara ekonomis sesuai dengan
prinsip dasar perpajakan dan amanat UU PPh. Pilihan metode apapun yang akan
diambil, seyogyanya dilakukan berdasarkan simulasi kebijakan dan penelitian
yang komprehensif agar tujuan dari kebijakan tersebut dapat tercapai.
Para akademisi,
ekonom, Wajib Pajak dan stakeholder
lainnya dapat berperan serta dengan memberi masukan secara aktif kepada pemerintah
untuk merumuskan pilihan kebijakan yang tepat. Tujuannya, agar sistem
perpajakan Indonesia dapat memberikan manfaat secara optimal bagi pembangunan
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
**********
Referensi
Mankiw, Gregory
N. 2010. Macroeconomics; 7th
International Edition. New York,
Worth Publishers.
Nicholson, Snyder. 2010. Theory and Application of Intermediate
Microeconomics; 11th International Edition. Canada,
South-Western Cengage Learning.
Pemerintah Republik Indonesia, 2008, Undang-Undang No. 36 Tahun 2008
Tentang Pajak Penghasilan.
[1]
Dimuat di Indonesian Tax Review Volume V/Edisi 1/2012
[2] Penulis adalah
staf Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan dan mahasiswa di National
Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo. Penulis dapat dihubungi
di subagio.effendi@gmail.com.
Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, serta Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi resmi menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai penghentian sementara atau moratorium penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang dilaksanakan di hadapan Wakil Presiden Boediono di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu 24 Agustus 2011. Juru Bicara Wakil Presiden Yopie Hidayat menyebutkan bahwa kebijakan moratorium CPNS ditetapkan sejak 1 September 2011 hingga 12 Desember 2012.
Moratorium CPNS dan Reformasi Birokrasi Model DJP
Oleh : Mochamad Yudhi P.
Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan, serta Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi resmi menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) mengenai penghentian sementara atau moratorium penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang dilaksanakan di hadapan Wakil Presiden Boediono di Kantor Wapres, Jakarta, Rabu 24 Agustus 2011. Juru Bicara Wakil Presiden Yopie Hidayat menyebutkan bahwa kebijakan moratorium CPNS ditetapkan sejak 1 September 2011 hingga 12 Desember 2012.
Sebagai catatan per 13 Mei 2011,
jumlah PNS di Indonesia tercatat sebanyak 4.708.330 orang, atau memiliki
persentase 1,98 persen dibanding jumlah penduduk sekitar 237 juta jiwa lebih.
Menurut lokasi, jumlah PNS pusat sekitar 916.493 orang (19,5 persen), sementara
PNS daerah mencapai 3.791.837 orang (80,5 persen). Sedangkan PNS
yang pensiun pada 2011 ini, menurut Menteri Pemberdayaagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi EE Mangindaan, sebesar 107 ribu dan pada 2012 sebesar
114 ribu PNS yang akan pensiun. Meskipun persentase jumlah PNS
terhadap jumlah penduduk masih sekitar 1,98 persen atau di level yang moderat,
tetapi dari postur birokrasi PNS masih bermasalah karena komposisi dan
distribusi pegawai yang tidak proporsional dan penempatannya pun masih banyak sesuai
kompetensi.
Masalah lainnya yaitu belanja
pegawai melebihi 50 persen dari total APBD. Pemerintah pernah melansir data bahwa
belanja pegawai di 294 kabupaten/kota lebih dari 50 persen APBD. Di 116
kabupaten/kota malah mencapai lebih dari 60 persen. Bahkan, ada daerah yang
mengalokasikan belanja pegawai lebih dari 70 persen dari APBD. Biaya pegawai
yang membengkak akan mengurangi alokasi belanja modal. Padahal belanja modal
tersebut dibutuhkan untuk pembenahan dan pembangunan sarana infrastruktur dasar
di daerah
Menurut
Pengamat Ekonomi Dradjad Wibowo, sumber pemborosan utama anggaran pegawai dalam
APBN adalah justru pegawai-pegawai lama. Ada dua jenis pemborosan oleh para PNS
lama ini yaitu pemborosan langsung dalam bentuk gaji dan tunjangan yang
jumlahnya signifikan—lebih dari 50% dari
total alokasi APBD. Kedua, pemborosan tak langsung berupa biaya perjalanan
dinas yang direkayasa, tender proyek yang diatur di belakang layar, dan
lain-lain.Selain itu , pegawai-pegawai lama lebih lihai juga bermain APBN.
Sehingga moratorium atau penghentian sementara perekrutan PNS baru mulai 1
September 2011 sampai Desember 2012 tidak efektif karena hanya akan
menghentikan rekrutmen untuk para pegawai baru.
Langkah
pasca Moratorium
Di masa jeda ini, ada sejumlah PR
besar dibidang Kepegawaian yang harus diselesaikan oleh Pemerintah, antara lain
menghitung data kepegawaian yang valid. Artinya menghitung berapa kebutuhan
pegawai dari masing-masing Kementerian/Lembaga dan Instansi Daerah seperti
dari Gubernur, Bupati/Walikota. Data kepegawaian di seluruh pemerintah daerah
sangat penting agar diketahui persis daerah mana yang kelebihan dan daerah mana
yang masih membutuhkan pegawai.
Saat moratorium, Pemerintah Pusat juga
harus meningkatkan kompetensi dan kapasitas para pegawai negara sipil agar
memenuhi kualitas dan kualifikasi standar kerja yang diperlukan antara lain
dengan memberikan pelatihan kepada PNS yang sudah ada di daerah. Kualifikasi
yang masih jarang dan sangat diperlukan seperti tenaga khusus di bidang hukum
lingkungan hidup atau bertugas menangani pengurusan izin amdal.
Ketiga, memperbaiki postur birokrasi PNS. Saat ini yang terjadi adalah ketimpangan
jumlah pegawai antarinstansi/daerah dan juga ketimpangan formasi pegawai. Pemerintah
harus
mempertimbangkan melakukan mutasi di lingkungan Kementerian Lembaga dan
perangkat daerah yang memiliki jumlah pegawai berlebih atau yang masih
belum
mencukupi. Apabila diperlukan harus dilakukan mutasi pegawai dari daerah
yang
kelebihan ke daerah yang masih kekurangan. Untuk menghemat anggaran,
mutasi
dapat dilakukan terlebih dulu
antarkabupaten di dalam satu provinsi, baru setelah itu antarprovinsi.
Hal yang
sama berlaku pula apabila pegawai di pusat terlalu banyak sementara di
daerah kurang dapat dilakukan realokasi dari pusat ke daerah atau
dari satu direktorat ke direktorat yang lain. Juga mengurangi formasi
untuk tata usaha atau
administrasi dan merekrut posisi teknis dibidang kesehatan, pendidikan
atau
pertanian seperti guru, penyuluh pertanian, dokter atau perawat.
Keempat,
yaitu wacana pensiun dini. Program ini
rencananya akan dipelopori oleh Kementerian Keuangan dengan menargetkan 1.000
pegawai yang berpotensi kena pensiun dini.
Program ini harus didesain dengan tepat jangan sampai menimbulkan moral hazard di mana PNS yang produktif
malah terdorong pensiun dini. Atau sebaliknya, yang pensiun dini dianggap tidak
mampu atau kalah lobi. Jika pemerintah salah mendesain pensiun dini ini maka
produktivitas PNS di kementerian/lembaga tidak akan membaik dan sebaliknya
apabila program ini berhasil maka akan menekan anggaran belanja pegawai.
Kelima,
mengimplementasikan Teknologi Informasi (TI) dilingkungan birokrasi. Padahal
penerapan TI efektif untuk menurunkan jumlah personel yang diperlukan disebuah
instansi. Hal ini telah berhasil diterapkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan
Negara, sebuah instansi vertikal dibawah Ditjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
Keenam,
menuntaskan permasalahan pengangkatan tenaga honorer. Sudah menjadi rahasia
umum bahwa banyak tenaga honorer yang yang telah diangkat
berdasarkan PP 48 tahun 2005, basic
pekerjaannya kebanyakan berasal dari tenaga honorer administrasi, petugas,
keamanan, petugas kebersihan, supir, dan sebagian besar diangkat berdasarkan
kedekatan dengan pejabat setempat merupakan hasil nepotisme. Untuk
para honorer ini harus diseleksi berdasarkan kualitas serta diutamakan bagi
yang bergerak dalam bidang pelayanan publik seperti tenaga kesehatan dan
pendidikan.
Ketujuh, apabila kebijakan ini
berhasil secara tidak langsung akan meningkatkan alokasi belanja modal di APBD.
Peningkatan belanja ini untuk pembenahan dan pembangunan sarana infrastruktur
dasar di daerah. Untuk itu, perlu dilakukan revisi UU No. 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang
mewajibkan agar Pemda mengalokasikan
belanja modal mencapai 20 persen APBD atau belanja pegawai tidak melebihi 50
persen.
Dan
yang terakhir,, menuntaskan kesenjangan tunjangan daerah antar
daerah kaya dengan daerah miskin. Caranya yaitu dengan mengatur besaran tunjangan pejabat daerah,
yang timpang antara satu daerah dengan daerah lain. Sebagai contoh, di DKI
Jakarta, tunjangan sekda bisa mencapai Rp50 juta, di daerah lain tidak lebih
Rp5 juta. Jika masalah ini ditertibkan, sudah lumayan banyak menekan belanja
pegawai. Semua problem ini diharapkan dapat dituntaskan sebelum berakhirnya
masa moratorium yakni 31 Desember 2012.
Sebenarnya kebijakan moratorium ini
merupakan satu rangkaian dari Reformasi Birokrasi yang dicanangkan oleh
Presiden SBY dalam Pidato Kenegaraan 16 Agustus 2011, dengan tujuan agar
Kementerian Lembaga termasuk pemerintah daerah dapat melakukan rightsizing atau restrukturisasi
organisasi dalam rangka meningkatkan produktivitas serta penyesuaian terhadap
kualitas kerja di lingkungan instansi masing-masing. Menurut data Menpan ada
tiga lembaga pemerintah yang menjadi pilot
project dari reformasi birokrasi yaitu Kementerian Keuangan, Badan
Pemeriksa Keuangan dan Mahkamah Agung. Salah satu Direktorat dibawah
Kementerian Keuangan yang telah dan sedang menerapkan Reformasi Birokrasi
adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Reformasi
Birokrasi Model DJP
Untuk
melihat contoh Reformasi Birokrasi , Pemerintah Daerah tidak perlu jauh-jauh
studi banding ke luar daerah atau bahkan ke luar negeri. Pemda cukup datang ke
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang telah menerapkan Modernisasi Administrasi
Perpajakan. Di kantor pajak tidak hanya success
story yang ditemui namun juga kisah kegagalan juga ditemui dalam perjalanan
Reformasi Birokrasi. Berikut ini akan penulis paparkan sekelumit perjalanan
panjang reformasi Birokrasi di Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Tak banyak yang mengetahui bahwa
Reformasi Birokrasi DJP Jilid I atau yang lebih dikenal dengan Modernisasi
Administrasi Perpajakan telah dimulai pada era Menkeu Boediono sejak tahun
2002. Modernisasi Administrasi Perpajakan dilakukan dengan beberapa tahapan
secara simultan. Pertama, restrukturisasi organisasi berdasarkan fungsi dan
penerapan prinsip segmentasi Wajib Pajak (WP) melalui penyatuan berbagai jenis
kantor pajak (KPP,KPPBB dan Karikpa) menjadi KPP WP Besar,KPP Madya dan KPP
Pratama untuk melayani seluruh jenis pelayanan (one stop service) untuk seluruh jenis pajak (PPh, PPN dan PBB).
Kedua, penyempurnaan proses bisnis melalui optimalisasi penggunaan teknologi informasi
melalui penulisan SOP, penerapan e-sistem
(e-filing,e-SPT,e-payment, dan e-registration), penyederhanaan sistem
pelaporan serta penerapan konsep Account
Representative. Ketiga,
penyempurnaan sistem manajemen SDM berbasis kompetensi dan kinerja, melalui
pemetaan kompetensi, untuk seluruh pegawai, evaluasi jabatan sekaligus
menetapkan job grade, penilaian
secara lebih objektif dan konsisten sekaligus penetapan standar kompetensi
jabatan. Keempat, pelaksanaan good
governance, melalui penerapan kode etik pegawai secara tegas pada semua
lini organisasi. Terakhir adalah mereformasi kebijakan DJP, dengan
mengamandemen Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), UU
PPh dan UU PPN dan PPnBM pada tahun 2007-2009.
Kasus
Gayus Tambunan (GT) medio Maret 2010 memberikan bukti bahwa Reformasi Birokrasi
tidak semudah membalikkan telapak tangan dan tidak terjadi dalam semalam saja
layaknya legenda Bandung Bondowoso.
Kasus GT juga membuktikan bahwa Reformasi Birokrasi bukan hanya soal
renumerasi semata sebagaimana anggapan masyarakat selama ini.
Untuk memenuhi harapan masyarakat
yang begitu besar dan dilandasi beban target penerimaan yang semakin besar, DJP
pun terus berbenah diri. Komitmen perbaikan
ini diwujudkan dalam bentuk Reformasi Jilid II. Reformasi Jilid II
menitikberatkan pada dua hal yatiu pengembangan Manajemen SDM dan pengembangan
Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Salah satu programnya adalah PINTAR
atau Project for Indonesian Tax Reform. PINTAR
merupakan program untuk mengadopsi dan menerapkan international best practice dalam aspek tax service, law enforcement,
struktur organisasi, proses bisnis dan manajemen SDM sebagaimana yang telah diterapkan oleh
negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Jepang. Sasaran akhir Reformasi
Jilid II adalah meningkatnya kepatuhan sukarela WP dan meningkatkan tingkat kepercayaan WP
dengan makin transparan dan akuntabelnya administrasi perpajakan yang dapat memberikan
rasa kenyamanan sekaligus keadilan.
Upaya
perbaikan ini tentu saja memerlukan dukungan dan pengawasan secara aktif dari masyarakat,
walaupun DJP telah mendapat pengawasan langsung dari Komisi Pengawas Perpajakan
(KPP). Harapan kita, komitmen DJP untuk berbenah ini diikuti dengan Reformasi Birokrasi
disemua lini pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah
sehingga tekad Pemerintah SBY untuk menegakkan good governance dapat terwujud.
*) Adalah Pemerhati masalah
Pemerintahan
* Tulisan ini telah Telah dipublikasikan pada
Rubrik Opini Harian Media Kalimantan Hari Kamis, Tanggal 22 September 2011
0 komentar:
Posting Komentar