Berikut adalah Artikel dari Blogger Tamu : Subagio Efffendi SST.CSRA :
Inflasi versus Pajak
Penghasilan[1]
Oleh
Subagio Effendi, SST.CSRA[2]
“Inflation
is always and everywhere a monetary phenomenon”
Milton
Friedman, 1968
Dalam
berbagai literatur ekonomi, inflasi didefinisikan sebagai kenaikan harga barang
dan jasa secara umum. Kebalikan dari inflasi adalah deflasi, yaitu penurunan
harga barang dan jasa secara menyeluruh (Mankiw, 2010). Sebagai ilustrasi
sederhana, apabila pada tahun 2010 Andi, penduduk kota A, membeli 10 buah apel
seharga Rp50.000,00 (Rp5.000,00/apel) kemudian pada tahun 2011 Andi membeli
produk yang sama seharga Rp60.000,00 (Rp6.000,00/apel), maka kita dapat
menyimpulkan bahwa tingkat inflasi di kota A pada tahun 2011 adalah 20%.
Sebaliknya, apabila pada tahun 2011 Andi membeli apel tersebut dengan harga
Rp40.000,00 (Rp4.000,00/apel), maka kita dapat menyimpulkan bahwa tingkat
deflasi di kota A pada tahun tersebut adalah 20%.
Metode yang banyak digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen/Consumer Price Index (CPI) dengan membandingkan tingkat harga gabungan (basket) beberapa produk tertentu dengan produk yang sama di periode yang menjadi basis penghitungan (base period). CPI biasanya dihitung oleh Badan Statistik atau Ketenagakerjaan terkait setiap triwulan. Walaupun sering dianggap bias, CPI tetap menjadi acuan utama oleh banyak pihak dan pengambil kebijakan dalam mengukur inflasi. Pendekatan lainnya adalah dengan membandingkan angka Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product/GDP) aktual (nominal GDP) dengan angka GDP yang menggunakan tingkat harga periode basis (real GDP) yang umumnya dikenal dengan nama GDP deflator.
Teori
ekonomi pada umumnya menghubungkan inflasi dengan jumlah uang yang beredar
dalam perekonomian. David Hume (1776), seorang filsuf dan ekonom moneter
kenamaan, mengemukakan bahwa apabila kecepatan uang untuk berpindah tangan
dalam perekonomian dianggap konstan, maka jumlah uang yang beredar akan
menentukan tingkat harga. Maka, apabila Bank
Sentral dapat mempertahankan kestabilan supply
uang dalam perekonomian, maka tingkat harga akan stabil. Sebaliknya,
apabila Bank Sentral menambah supply
uang dalam perekonomian, maka tingkat harga akan meningkat. Teori ini yang
kemudian dikenal sebagai the Quantity
Theory of Money.
Secara
natural, inflasi akan mengurangi penghasilan riil yang diterima. Irving Fisher
(1947) menjelaskan bahwa penghasilan riil akan sama dengan penghasilan nominal setelah dikurangi dengan tingkat inflasi. Definisi
penghasilan nominal adalah penghasilan aktual yang sebenarnya diterima dalam
satuan mata uang, sedangkan penghasilan riil adalah jumlah barang atau jasa
yang dapat dikonsumsi dengan penghasilan tersebut.
Dampak
negatif inflasi terhadap penghasilan tersebut kita kenal sebagai Fisher Effect. Pengembangan dari Fisher Theory kemudian mengklasifikasikan
inflasi dalam dua kategori yaitu tingkat inflasi sebenarnya yang terjadi (actual inflation) dan ekspektasi tingkat
inflasi yang akan terjadi (expected
inflation).
Inflasi versus Pajak Penghasilan
Pasal
1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) mendefinisikan
Pajak Penghasilan (PPh) sebagai pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pasal 4 ayat (1)
selanjutnya mendefinisikan penghasilan sebagai setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apapun.
Kemudian
dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) ditegaskan bahwa UU PPh menganut prinsip
pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak
dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak dari manapun sumbernya (world-wide
income) yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib
Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam UU PPh tersebut tidak memperhatikan
adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak. Unsur tambahan kemampuan
ekonomis tersebut diyakini merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib
Pajak untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan Pemerintah untuk
kegiatan rutin pemerintahan dan pembangunan.
Dengan
mempelajari definisi penghasilan dalam UU PPh tersebut kita dapat
mengidentifikasi beberapa aspek penting, yaitu:
1.
Penghasilan
adalah suatu tambahan kemampuan ekonomis yaitu penambahan kemampuan yang diukur
dengan indikator-indikator ekonomi seperti tingkat kepuasan (utility), kesejahteraan (welfare) dan keuntungan (profit). Dengan kata lain, Wajib Pajak
dapat diindikasikan memiliki tambahan penghasilan apabila terdapat peningkatan
dalam tingkatan utility, welfare dan profit yang dimilikinya;
2.
Penghasilan
dapat diterima atau diperoleh, artinya UU PPh tersebut tidak membedakan
bagaimana metode penghasilan tersebut didapatkan. Dalam perspektif akuntansi
keuangan, diterima dapat berarti penghasilan yang didapatkan secara tunai (cash basis) atau dapat juga berarti passive income seperti bunga, sewa,
dividen dan royalti. Sedangkan diperoleh dapat berarti penghasilan yang belum
didapatkan secara tunai, namun sudah dapat diakui dalam pembukuan (accrual basis) atau dapat juga berarti active income seperti gaji, imbalan
jasa, komisi dan laba usaha;
3.
Penghasilan
dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak, artinya
penghasilan tersebut harus dapat memberikan nilai tambah secara ekonomis berupa
peningkatan jumlah konsumsi atau kekayaan Wajib Pajak tersebut sesuai dengan
tingkat kecenderungannya untuk membelanjakan setiap tambahan penghasilan yang
diperoleh (Marginal Propensity to Consume).
Berdasarkan analisis di atas, kita dapat
menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dalam definisi penghasilan menurut UU
PPh pada hakikatnya adalah penghasilan riil, yaitu tambahan kemampuan ekonomis
yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak. Merujuk
kembali pada Fisher Theory bahwa penghasilan riil akan sama dengan penghasilan
nominal dikurangi dengan tingkat inflasi, maka seyogyanya Pemerintah
menggunakan kerangka berfikir yang sama dalam mekanisme penghitungan PPh.
Sebagai ilustrasi, apabila pada tahun
2011 Andi, penduduk kota A, menyewakan asset-nya
dan menerima penghasilan berupa sewa sebesar Rp1.000.000,00, apabila tingkat
inflasi di kota A sebesar 20% maka jumlah penghasilan riil yang menjadi
tambahan kemampuan ekonomis bagi Andi untuk konsumsi atau menambah kekayaannya
adalah sebesar Rp800.000,00 (Rp1.000.000,00 dikurangi inflasi sebesar 20%)
bukan Rp1.000.000,00, sehingga dengan kerangka berfikir yang sama, seyogyanya
penghasilan riil tersebut yang menjadi dasar penghitungan PPh bagi Andi.
Beberapa ekonom menyebut inflasi sebagai
inflation tax, karena pada hakikatnya
inflasi mempunyai efek yang sama dengan pajak dalam mengurangi nilai riil dari
penghasilan. Ketika inflasi terjadi, maka uang yang kita miliki menjadi lebih
tidak berharga karena daya beli riil-nya telah menurun, sehingga beberapa
ekonom menyamakan inflasi sebagai pajak atas kepemilikan uang (tax on holding money). Berdasarkan
analogi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa apabila Pemerintah menggunakan
penghasilan nominal Wajib Pajak sebagai dasar penghitungan PPh-nya, maka telah
terjadi “pajak berganda” secara ekonomis (economic-double
taxation) atas penghasilan Wajib Pajak tersebut.
Metode untuk Mengakomodasi Aspek Inflasi
dalam Penghitungan PPh
Berdasarkan
uraian di atas, kita dapat memahami bahwa untuk menciptakan mekanisme pengenaan
pajak yang fair dan sesuai dengan amanat Undang-Undang, maka Pemerintah perlu untuk
memperhitungkan aspek inflasi dalam penghitungannya. Konsep tersebut mungkin
sangat ideal dalam tataran teori, namun akan sangat sulit diaplikasikan dalam
praktiknya karena tidak mudah untuk mengukur tingkat inflasi aktual yang
terjadi di masa depan.
Oleh
sebab itu, pilihan terbaik yang dapat diambil oleh Pemerintah, menurut pendapat
Penulis, adalah dengan menggunakan angka expected
inflation yang konsisten dengan asumsi tingkat inflasi yang digunakan dalam
menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada periode yang sama. Dengan
menggunakan angka expected inflation tersebut,
beberapa metode yang dapat digunakan oleh Pemerintah untuk mengakomodasi aspek
inflasi dalam penghitungan PPh adalah sebagai berikut:
1.
Deemed Inflation Expense
Metode deemed biaya inflasi bisa jadi merupakan metode yang tidak lazim
diterapkan untuk mengakomodasi aspek inflasi dalam penghitungan PPh. Dengan
metode ini, Pemerintah mengasumsikan adanya biaya inflasi sebesar angka expected inflation dikalikan dengan
jumlah penghasilan nominal bagi setiap Wajib Pajak. Biaya tersebut kemudian
dikurangkan (deductible expense) dari
penghasilan neto pada saat menghitung penghasilan kena pajak. Barangkali karena
banyak ketidaksesuaian dengan prinsip-prinsip akuntansi keuangan dan
perpajakan, metode ini tidak lazim digunakan oleh otoritas perpajakan.
2.
Norma
Penghasilan Neto
Metode
norma penghasilan neto telah cukup lama digunakan dalam sistem perpajakan
Indonesia, di mana PPh dikenakan tidak atas total penghasilan nominal yang
diterima namun dikalikan terlebih dahulu dengan persentase tertentu untuk
mendapatkan penghasilan neto baru kemudian dihitung PPh yang terutang.
Pemerintah dapat menggunakan metode ini untuk mengakomodasi aspek inflasi
dengan menetapkan angka expected
inflation sebagai salah satu kriteria dalam menentukan besarnya persentase penghasilan neto, di samping
kriteria lainnya seperti biaya-biaya yang diperlukan untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan tersebut.
Sebagai
ilustrasi, untuk penghasilan sewa asset
biaya-biaya yang diperlukan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan tersebut diperkirakan sebesar 40% dari total penghasilan bruto.
Apabila expected inflation pada
periode diterimanya penghasilan ditetapkan sebesar 20%. Maka Pemerintah dapat menetapkan
norma penghasilan neto untuk penghasilan sewa asset adalah sebesar 40% dari penghasilan bruto. Metode ini relatif
lebih mudah untuk diaplikasikan dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
akuntansi keuangan dan perpajakan, sehingga jauh lebih feasible dari metode sebelumnya.
3.
Basic/Personal Exemption
Metode
Basic/Personal Exemption adalah
metode yang paling banyak digunakan oleh otoritas perpajakan di negara-negara
maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman dan Belanda untuk mengakomodasi
aspek inflasi dalam penghitungan PPh. Dalam sistem perpajakan Indonesia, metode
ini diaplikasikan dalam bentuk Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang
diberikan kepada setiap Wajib Pajak sesuai dengan status pernikahan dan jumlah
keluarga yang menjadi tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU PPh.
Dengan
metode ini, PPh tidak dihitung berdasarkan penghasilan nominal yang diterima
oleh Wajib Pajak tetapi berdasarkan Penghasilan Kena Pajak (taxable income) setelah dikurangi PTKP
terlebih dahulu. PTKP dianggap sebagai biaya yang diperlukan untuk hidup (cost of live) secara wajar di Indonesia.
Saat ini, jumlah PTKP yang diberikan oleh pemerintah adalah sebesar
Rp15.840.000,00 per tahun untuk setiap Wajib Pajak dan tambahan sebesar
Rp1.320.000,00 untuk status menikah dan setiap anggota
keluarga yang menjadi tanggungan. Jumlah tersebut dapat disesuaikan
dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta
perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya (inflasi/deflasi).
Pemerintah
dapat menggunakan PTKP sebagai instrumen yang efektif untuk mengakomodasi aspek
inflasi dalam penghitungan PPh dengan menggunakan angka expected inflation sebagai salah satu kriteria dalam menentukan
besarnya PTKP sesuai dengan amanat Pasal 7 UU PPh. Konsekuensinya, batasan PTKP
yang diberikan akan selalu berubah setiap tahunnya sesuai dengan asumsi expected inflation yang digunakan.
Pemerintah juga dapat membuat batasan PTKP yang berbeda untuk setiap wilayah (kabupaten/kotamadya/provinsi)
dengan mengacu pada logika berfikir bahwa
tingkat inflasi setiap wilayah akan berbeda sehingga asumsi biaya hidup dan expected inflation-nya pun akan
berbeda.
Salah
satu aspek yang menjadi kelemahan metode ini adalah merumuskan bentuk basic exemption untuk Wajib Pajak badan,
mengingat dalam sistem perpajakan Indonesia saat ini tidak dikenal adanya basic exemption untuk Wajib Pajak badan.
Kondisi ini akan menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak badan. Untuk itu, pemerintah perlu merumuskan
bentuk basic exemption yang ideal
untuk Wajib Pajak badan atau menggunakan metode lain untuk mengakomodasi aspek
inflasi seperti norma penghasilan neto.
Kesimpulan
Pemerintah perlu
mengakomodasi aspek inflasi dalam penghitungan PPh untuk menciptakan sistem
perpajakan yang fair serta equitable secara ekonomis sesuai dengan
prinsip dasar perpajakan dan amanat UU PPh. Pilihan metode apapun yang akan
diambil, seyogyanya dilakukan berdasarkan simulasi kebijakan dan penelitian
yang komprehensif agar tujuan dari kebijakan tersebut dapat tercapai.
Para akademisi,
ekonom, Wajib Pajak dan stakeholder
lainnya dapat berperan serta dengan memberi masukan secara aktif kepada pemerintah
untuk merumuskan pilihan kebijakan yang tepat. Tujuannya, agar sistem
perpajakan Indonesia dapat memberikan manfaat secara optimal bagi pembangunan
dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
**********
Referensi
Mankiw, Gregory
N. 2010. Macroeconomics; 7th
International Edition. New York,
Worth Publishers.
Nicholson, Snyder. 2010. Theory and Application of Intermediate
Microeconomics; 11th International Edition. Canada,
South-Western Cengage Learning.
Pemerintah Republik Indonesia, 2008, Undang-Undang No. 36 Tahun 2008
Tentang Pajak Penghasilan.
[1]
Dimuat di Indonesian Tax Review Volume V/Edisi 1/2012
0 komentar:
Posting Komentar