Senin, 04 Juni 2012

Artikel : Inflasi versus Pajak Penghasilan

Berikut adalah Artikel dari Blogger Tamu : Subagio Efffendi SST.CSRA :
ARTIKEL :
Inflasi versus Pajak Penghasilan[1]
Oleh
Subagio Effendi, SST.CSRA[2]
 “Inflation is always and everywhere a monetary phenomenon”
Milton Friedman, 1968
Dalam berbagai literatur ekonomi, inflasi didefinisikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum. Kebalikan dari inflasi adalah deflasi, yaitu penurunan harga barang dan jasa secara menyeluruh (Mankiw, 2010). Sebagai ilustrasi sederhana, apabila pada tahun 2010 Andi, penduduk kota A, membeli 10 buah apel seharga Rp50.000,00 (Rp5.000,00/apel) kemudian pada tahun 2011 Andi membeli produk yang sama seharga Rp60.000,00 (Rp6.000,00/apel), maka kita dapat menyimpulkan bahwa tingkat inflasi di kota A pada tahun 2011 adalah 20%. Sebaliknya, apabila pada tahun 2011 Andi membeli apel tersebut dengan harga Rp40.000,00 (Rp4.000,00/apel), maka kita dapat menyimpulkan bahwa tingkat deflasi di kota A pada tahun tersebut adalah 20%.

Metode yang banyak digunakan untuk mengukur tingkat inflasi adalah Indeks Harga Konsumen/Consumer Price Index (CPI) dengan membandingkan tingkat harga gabungan (basket) beberapa produk tertentu dengan produk yang sama di periode yang menjadi basis penghitungan (base period). CPI biasanya dihitung oleh Badan Statistik atau Ketenagakerjaan terkait setiap triwulan. Walaupun sering dianggap bias, CPI tetap menjadi acuan utama oleh banyak pihak dan pengambil kebijakan dalam mengukur inflasi. Pendekatan lainnya adalah dengan membandingkan angka Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product/GDP) aktual (nominal GDP) dengan angka GDP yang menggunakan tingkat harga periode basis (real GDP) yang umumnya dikenal dengan nama GDP deflator.
Teori ekonomi pada umumnya menghubungkan inflasi dengan jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. David Hume (1776), seorang filsuf dan ekonom moneter kenamaan, mengemukakan bahwa apabila kecepatan uang untuk berpindah tangan dalam perekonomian dianggap konstan, maka jumlah uang yang beredar akan menentukan tingkat harga. Maka, apabila Bank Sentral dapat mempertahankan kestabilan supply uang dalam perekonomian, maka tingkat harga akan stabil. Sebaliknya, apabila Bank Sentral menambah supply uang dalam perekonomian, maka tingkat harga akan meningkat. Teori ini yang kemudian dikenal sebagai the Quantity Theory of Money
Secara natural, inflasi akan mengurangi penghasilan riil yang diterima. Irving Fisher (1947) menjelaskan bahwa penghasilan riil akan sama dengan penghasilan nominal setelah dikurangi dengan tingkat inflasi. Definisi penghasilan nominal adalah penghasilan aktual yang sebenarnya diterima dalam satuan mata uang, sedangkan penghasilan riil adalah jumlah barang atau jasa yang dapat dikonsumsi dengan penghasilan tersebut.
Dampak negatif inflasi terhadap penghasilan tersebut kita kenal sebagai Fisher Effect. Pengembangan dari Fisher Theory kemudian mengklasifikasikan inflasi dalam dua kategori yaitu tingkat inflasi sebenarnya yang terjadi (actual inflation) dan ekspektasi tingkat inflasi yang akan terjadi (expected inflation).
Inflasi versus Pajak Penghasilan
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) mendefinisikan Pajak Penghasilan (PPh) sebagai pajak yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pasal 4 ayat (1) selanjutnya mendefinisikan penghasilan sebagai setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Kemudian dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) ditegaskan bahwa UU PPh menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun sumbernya (world-wide income) yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. Pengertian penghasilan dalam UU PPh tersebut tidak memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak. Unsur tambahan kemampuan ekonomis tersebut diyakini merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan Pemerintah untuk kegiatan rutin pemerintahan dan pembangunan.
Dengan mempelajari definisi penghasilan dalam UU PPh tersebut kita dapat mengidentifikasi beberapa aspek penting, yaitu:
1.       Penghasilan adalah suatu tambahan kemampuan ekonomis yaitu penambahan kemampuan yang diukur dengan indikator-indikator ekonomi seperti tingkat kepuasan (utility), kesejahteraan (welfare) dan keuntungan (profit). Dengan kata lain, Wajib Pajak dapat diindikasikan memiliki tambahan penghasilan apabila terdapat peningkatan dalam tingkatan utility, welfare dan profit yang dimilikinya;
2.       Penghasilan dapat diterima atau diperoleh, artinya UU PPh tersebut tidak membedakan bagaimana metode penghasilan tersebut didapatkan. Dalam perspektif akuntansi keuangan, diterima dapat berarti penghasilan yang didapatkan secara tunai (cash basis) atau dapat juga berarti passive income seperti bunga, sewa, dividen dan royalti. Sedangkan diperoleh dapat berarti penghasilan yang belum didapatkan secara tunai, namun sudah dapat diakui dalam pembukuan (accrual basis) atau dapat juga berarti active income seperti gaji, imbalan jasa, komisi dan laba usaha;
3.       Penghasilan dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak, artinya penghasilan tersebut harus dapat memberikan nilai tambah secara ekonomis berupa peningkatan jumlah konsumsi atau kekayaan Wajib Pajak tersebut sesuai dengan tingkat kecenderungannya untuk membelanjakan setiap tambahan penghasilan yang diperoleh (Marginal Propensity to Consume).
Berdasarkan analisis di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dalam definisi penghasilan menurut UU PPh pada hakikatnya adalah penghasilan riil, yaitu tambahan kemampuan ekonomis yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak. Merujuk kembali pada Fisher Theory bahwa penghasilan riil akan sama dengan penghasilan nominal dikurangi dengan tingkat inflasi, maka seyogyanya Pemerintah menggunakan kerangka berfikir yang sama dalam mekanisme penghitungan PPh.
Sebagai ilustrasi, apabila pada tahun 2011 Andi, penduduk kota A, menyewakan asset-nya dan menerima penghasilan berupa sewa sebesar Rp1.000.000,00, apabila tingkat inflasi di kota A sebesar 20% maka jumlah penghasilan riil yang menjadi tambahan kemampuan ekonomis bagi Andi untuk konsumsi atau menambah kekayaannya adalah sebesar Rp800.000,00 (Rp1.000.000,00 dikurangi inflasi sebesar 20%) bukan Rp1.000.000,00, sehingga dengan kerangka berfikir yang sama, seyogyanya penghasilan riil tersebut yang menjadi dasar penghitungan PPh bagi Andi.
Beberapa ekonom menyebut inflasi sebagai inflation tax, karena pada hakikatnya inflasi mempunyai efek yang sama dengan pajak dalam mengurangi nilai riil dari penghasilan. Ketika inflasi terjadi, maka uang yang kita miliki menjadi lebih tidak berharga karena daya beli riil-nya telah menurun, sehingga beberapa ekonom menyamakan inflasi sebagai pajak atas kepemilikan uang (tax on holding money). Berdasarkan analogi tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa apabila Pemerintah menggunakan penghasilan nominal Wajib Pajak sebagai dasar penghitungan PPh-nya, maka telah terjadi “pajak berganda” secara ekonomis (economic-double taxation) atas penghasilan Wajib Pajak tersebut. 
Metode untuk Mengakomodasi Aspek Inflasi dalam Penghitungan PPh
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat memahami bahwa untuk menciptakan mekanisme pengenaan pajak yang fair dan sesuai dengan amanat Undang-Undang, maka Pemerintah perlu untuk memperhitungkan aspek inflasi dalam penghitungannya. Konsep tersebut mungkin sangat ideal dalam tataran teori, namun akan sangat sulit diaplikasikan dalam praktiknya karena tidak mudah untuk mengukur tingkat inflasi aktual yang terjadi di masa depan.
Oleh sebab itu, pilihan terbaik yang dapat diambil oleh Pemerintah, menurut pendapat Penulis, adalah dengan menggunakan angka expected inflation yang konsisten dengan asumsi tingkat inflasi yang digunakan dalam menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada periode yang sama. Dengan menggunakan angka expected inflation tersebut, beberapa metode yang dapat digunakan oleh Pemerintah untuk mengakomodasi aspek inflasi dalam penghitungan PPh adalah sebagai berikut:
1.       Deemed Inflation Expense
Metode deemed biaya inflasi bisa jadi merupakan metode yang tidak lazim diterapkan untuk mengakomodasi aspek inflasi dalam penghitungan PPh. Dengan metode ini, Pemerintah mengasumsikan adanya biaya inflasi sebesar angka expected inflation dikalikan dengan jumlah penghasilan nominal bagi setiap Wajib Pajak. Biaya tersebut kemudian dikurangkan (deductible expense) dari penghasilan neto pada saat menghitung penghasilan kena pajak. Barangkali karena banyak ketidaksesuaian dengan prinsip-prinsip akuntansi keuangan dan perpajakan, metode ini tidak lazim digunakan oleh otoritas perpajakan.

2.       Norma Penghasilan Neto
Metode norma penghasilan neto telah cukup lama digunakan dalam sistem perpajakan Indonesia, di mana PPh dikenakan tidak atas total penghasilan nominal yang diterima namun dikalikan terlebih dahulu dengan persentase tertentu untuk mendapatkan penghasilan neto baru kemudian dihitung PPh yang terutang. Pemerintah dapat menggunakan metode ini untuk mengakomodasi aspek inflasi dengan menetapkan angka expected inflation sebagai salah satu kriteria dalam menentukan besarnya persentase penghasilan neto, di samping kriteria lainnya seperti biaya-biaya yang diperlukan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan tersebut.
Sebagai ilustrasi, untuk penghasilan sewa asset biaya-biaya yang diperlukan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan tersebut diperkirakan sebesar 40% dari total penghasilan bruto. Apabila expected inflation pada periode diterimanya penghasilan ditetapkan sebesar 20%. Maka Pemerintah dapat menetapkan norma penghasilan neto untuk penghasilan sewa asset adalah sebesar 40% dari penghasilan bruto. Metode ini relatif lebih mudah untuk diaplikasikan dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip akuntansi keuangan dan perpajakan, sehingga jauh lebih feasible dari metode sebelumnya.

3.       Basic/Personal Exemption
Metode Basic/Personal Exemption adalah metode yang paling banyak digunakan oleh otoritas perpajakan di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman dan Belanda untuk mengakomodasi aspek inflasi dalam penghitungan PPh. Dalam sistem perpajakan Indonesia, metode ini diaplikasikan dalam bentuk Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang diberikan kepada setiap Wajib Pajak sesuai dengan status pernikahan dan jumlah keluarga yang menjadi tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU PPh.
Dengan metode ini, PPh tidak dihitung berdasarkan penghasilan nominal yang diterima oleh Wajib Pajak tetapi berdasarkan Penghasilan Kena Pajak (taxable income) setelah dikurangi PTKP terlebih dahulu. PTKP dianggap sebagai biaya yang diperlukan untuk hidup (cost of live) secara wajar di Indonesia. Saat ini, jumlah PTKP yang diberikan oleh pemerintah adalah sebesar Rp15.840.000,00 per tahun untuk setiap Wajib Pajak dan tambahan sebesar Rp1.320.000,00 untuk status menikah dan setiap anggota keluarga yang menjadi tanggungan. Jumlah tersebut dapat disesuaikan dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dengan mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan moneter serta perkembangan harga kebutuhan pokok setiap tahunnya (inflasi/deflasi).
Pemerintah dapat menggunakan PTKP sebagai instrumen yang efektif untuk mengakomodasi aspek inflasi dalam penghitungan PPh dengan menggunakan angka expected inflation sebagai salah satu kriteria dalam menentukan besarnya PTKP sesuai dengan amanat Pasal 7 UU PPh. Konsekuensinya, batasan PTKP yang diberikan akan selalu berubah setiap tahunnya sesuai dengan asumsi expected inflation yang digunakan. Pemerintah juga dapat membuat batasan PTKP yang berbeda untuk setiap wilayah (kabupaten/kotamadya/provinsi) dengan mengacu pada logika berfikir bahwa tingkat inflasi setiap wilayah akan berbeda sehingga asumsi biaya hidup dan expected inflation­-nya pun akan berbeda.
Salah satu aspek yang menjadi kelemahan metode ini adalah merumuskan bentuk basic exemption untuk Wajib Pajak badan, mengingat dalam sistem perpajakan Indonesia saat ini tidak dikenal adanya basic exemption untuk Wajib Pajak badan. Kondisi ini akan menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak badan. Untuk itu, pemerintah perlu merumuskan bentuk basic exemption yang ideal untuk Wajib Pajak badan atau menggunakan metode lain untuk mengakomodasi aspek inflasi seperti norma penghasilan neto.
Kesimpulan
Pemerintah perlu mengakomodasi aspek inflasi dalam penghitungan PPh untuk menciptakan sistem perpajakan yang fair serta equitable secara ekonomis sesuai dengan prinsip dasar perpajakan dan amanat UU PPh. Pilihan metode apapun yang akan diambil, seyogyanya dilakukan berdasarkan simulasi kebijakan dan penelitian yang komprehensif agar tujuan dari kebijakan tersebut dapat tercapai.
Para akademisi, ekonom, Wajib Pajak dan stakeholder lainnya dapat berperan serta dengan memberi masukan secara aktif kepada pemerintah untuk merumuskan pilihan kebijakan yang tepat. Tujuannya, agar sistem perpajakan Indonesia dapat memberikan manfaat secara optimal bagi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. 
**********

Referensi
Mankiw, Gregory N. 2010. Macroeconomics; 7th International Edition. New York, Worth Publishers.
Nicholson, Snyder. 2010. Theory and Application of Intermediate Microeconomics; 11th International Edition. Canada, South-Western Cengage Learning.
Pemerintah Republik Indonesia, 2008, Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan.






[1] Dimuat di Indonesian Tax Review Volume V/Edisi 1/2012
[2] Penulis adalah staf Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan dan mahasiswa di National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS), Tokyo. Penulis dapat dihubungi di subagio.effendi@gmail.com.

0 komentar:

Posting Komentar